9.26.2008

Jadikanlah Al-Qur’an Sebagai Sahabat

بسم الله الرحمن الرحيم




Salah satu karunia Allah Ta’ala terbesar yang dilimpahkan kepada kita adalah Kalam-Nya yang mulia Al-Qur’an. Terkandung di dalamnya petunjuk menuju jalan yang lurus dan benar. Dengannya Allah memandu hamba-hamba-Nya kepada jalan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. Seorang nashrani pun ketika mendengarkan lantunan ayat-ayat Al Qur’an dengan hati yang jernih maka hidayah Allah pun masuk kedalam relung hatinya tanpa bisa dibendung.



Tak hanya berhenti disitu, ia pun mencucurkan air mata demi mendengarkan kalam Ilahi yang mulia ini. Raja Najasyi adalah contoh yang indah untuk membenarkan klaim tersebut. Ketika beliau mendengarkan Al Qur’an yang dibacakan oleh Ja’far bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu.

Tidak hanya manusia, jin pun terkesima tatkala mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an yang dilantunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka terdiam mendengarkan dengan penuh perhatian. Begitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai membacakannya, spontan mereka langsung beriman dan menyeru kaumnya untuk beriman. Allah Ta’ala berfirman;

“Dan (ingatlah) ketika Kami hadap-kan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur’an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peri-ngatan. Mereka berkata: “Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan sesudah Musa, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS. Al Ahqaaf:30).

Al-Qur’an adalah nikmat Allah yang sangat besar. Kitab yang sarat dengan keberkahan. Akan tetapi nikmat dan barokah itu tidak akan dapat kita rasakan kecuali jika kita mau membaca, mempelajari dan merenungkannya.

Sungguh merupakan suatu kerugian yang sangat besar, jika hari demi hari kita lewatkan begitu saja tanpa dihiasi oleh bacaan Al-Qur’an. Bagaimana mungkin seorang muslim tidak tertarik untuk membacanya, padahal di dalamnya terdapat berbagai informasi yang sangat ia butuhkan. Informasi dan petunjuk penting yang tak akan bisa didapat pada selain Al Qur’an.

Ketika kita hidup di zaman yang penuh fitnah seperti sekarang ini, maka kebutuhan terhadap Al-Qur’an menjadi lebih besar lagi. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata; “Sesungguhnya nanti akan terjadi berbagai fitnah (cobaan)”. Maka ditanyakan kepadanya: “Lalu apakah jalan keluarnya?”. Beliau menjawab; “Kitabullah (Al-Qur’an), di dalamnya terdapat berita (riwayat) orang-orang sebelum kalian, khabar-khabar (peristiwa) yang terjadi setelah kalian dan hukum-hukum (yang mengatur) urusan kalian. Ia adalah pemisah antara yang hak dan yang bathil. Sekali-kali ia bukanlah senda gurau, siapa saja orang sombong yang meninggalkannya pasti akan dibinasakan oleh Allah. Siapa yang mencari petunjuk selain padanya, maka ia akan disesatkan oleh Allah. Ia adalah tali Allah yang kokoh, peringatan yang bijak dan ia adalah jalan yang lurus. Dengannya hawa nafsu tidak akan menyimpang.

Dengannya lisan tidak akan rancu (keliru). Keajaiban-keajaibannya tidak akan pernah habis. Para ulama tidak akan pernah kenyang darinya. Barang siapa yang bicara dengan berhujjah dengannya maka ia akan benar. Barang siapa yang mengamalkannya maka ia akan memperoleh pahala. Barang siapa yang berhukum dengannya maka ia akan adil. Barang siapa yang menyeru kepadanya maka ia akan terbimbing ke jalan yang lurus”.

Al-Qur’an bagaikan air yang menyirami tanaman iman. Iman yang selalu dirawat dan disirami dengan bacaan Al-Qur’an, niscaya akan tumbuh subur.

Namun sebaliknya, hati yang jauh dari bacaan Al-Qur’an, niscaya akan gersang. Tanaman iman menjadi layu. Tidak ada musibah yang lebih besar daripada hati yang beku dan iman yang layu. Sungguh itu merupakan musibah besar bagi agama seorang hamba Allah. Rasulullah senantiasa berdo’a,

“Dan janganlah Engkau jadikan musibah kami menimpa pada agama kami” (HR. Tirmidzi dan Al Hakim).

Sudahkan kita menjadikan membaca al Qur’an sebagai sebuah kebutuhan? Tahukah anda, bahwa al Qur’an adalah sekumpulan surat yang dikirim oleh Tuhan penguasa sekalian alam kepada kita sebagai hamba-hamba-Nya? Seorang yang gemar membaca Al-Qur’an akan bercahaya haitnya, lapang dadanya, rahmat Allah melimpah kepadanya, dan setiap huruf yang dibacanya akan dibalas dengan sepululuh kali lipat pahala yang baik.

Tidakkkah Rusulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan:

“Bacalah Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi shahabatnya” (HR. Muslim).

Jadikanlah Al-Qur’an sebagai sahabat kita, niscaya syafa’atnya kan kita dapatkan.

Sumber : bacagerimis.wordpress.com

Renungan Ramadhan (Untukmu Saudaraku)

بسم الله الرحمن الرحيم




Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Subhanahuwata'ala yang telah memberikan kita berbagai macam ribu nikmat diantaranya adalah nikmat usia dan kesehatan sehingga saat ini kita masih bisa bertemu dengan bulan suci Ramadhan dan sesaat ini kita akan bertemu dengan Idul Fitri.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Salallahu'alaihi wassalam beserta para tabi'in, tabiut-tabi'in dan kepada kita yang selalu berusaha mengikuti sunnah-sunnah beliau.



Ikhwahfillah rahimaniallahu wa'iyakum,

sadarkah kita bahwa sesaat lagi kita akan berpisah dengan bulah yang penuh berkah,

yang didalamnya Alqur'an diturunkan,

sudahkan kita memanfaatkan bulan ini dengan sebaik-baiknya,

sudahkan kita sadar akan seluruh perbuatan kita,


Bulan Suci Ramadhan segera berakhir...

Sedih merasuk dalam diri ini yang akan berpisah dengan Bulan Berkah,

tak terasa air mata mulai keluar,

tanda penyesalan pada diri ini yang masih melalaikan Bulan Penuh Berkah ini dengan melakukan perbuatan yang sama sekali tidak bermanfaat,

jiwa ini yang masih melalaikan kasih sayang Mu,

sekarang bulan itu tinggal beberapa hari saja,

tak kuasa menahan sedih yang sangat mendalam,

akankah kita di beri usia agar dapat dipertemukan dengan bulan Ramadhan tahun depan,
ataukan ini adalah Ramadhan terakhir kita,

yang tidak dapat kita manfaatkan dengan maksimal,

Ikhwahfillah, manfaatkalah sisa hari di bulan ini dengan mengharap ampunan-Nya, Kasih Sayang-Nya, dan berharap melihat Wajah Indah-Nya.


Yaa... Allah berikanlah waktumu kepada kami agar kami dapat menemui Bulan Suci tahun depan, Jadikanlah Puasa kami selama ini sebagai mana Puasanya orang-orang yang benar-benar berpuasa, jadikanlah shalat malam kami sebagai mana shalat malamnya orang-orang yang khusyu, jadikanlah setiap amalan kami sebagai mana amalan orang-orang yang Ikhlas,
Ya... Allah jadikanlah kami sebagai penghuni Surga-Mu dan Jauhkanlah kami dari Siksa api Neraka-Mu.

9.23.2008

MENGERASKAN BACAAN AL-QUR'AN PADA MAYAT

بسم الله الرحمن الرحيم


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Ketika seseorang meninggal, orang-orang membacakan Al-Qur'an dengan pengeras suara di rumah duka, dan ketika mayat itu dibawa oleh mobil jenazah, mereka memasangkan pengeras suara, dengan demikian orang yang mendengar bacaan Al-Qur'an itu mengetahui bahwa di sana ada kematian, akibatnya seolah merasa sial karena mendengar bacaan Al-Qur'an, dan akibat lain-nya, Al-Qur'an itu tidak dibuka kecuali ketika ada seseorang yang meninggal. Apa hukum perbuatan ini, dan bagaimana menyampaikan nasehat kepada orang-orang yang semacam itu?


Jawaban
Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan ini bid'ah, karena tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pula pada masa para sahabat beliau. Sesungguhnya Al-Qur'an itu bisa menawar kedukaan jika dibaca seperti biasa, tidak dengan menggunakan pengeras suara.

Lain dari itu, berkumpulnya keluarga si mayat untuk menyambut orang-orang yang mengucapkan bela sungkawa, tidak pernah dikenal. Bahkan sebagian ulama menyatakannya sebagai perbuatan bid'ah. Karena itu kami tidak menganjurkan keluarga si mayat berkumpul untuk menerima ucapan bela sungkawa, tapi hendaknya menutup pintu mereka. Tapi jika ada seseorang yang berjumpa di pasar, umpamanya, atau kebetulan ada seorang kenalan yang datang berkunjung lalu mengucapkan bela sungkawa, maka hal ini tidak apa-apa.

Adapun sengaja menyambut orang-orang, hal ini tidak pernah dikenal pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan para sahabat menganggap bahwa berkumpulnya keluarga si mayat dan membuat makanan termasuk meratapi kematian, padahal meratapi kematian itu termasuk perbuatan berdosa besar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang orang yang meratapi mayat dan memperdengarkan ratapannya, beliau bersabda.

"Wanita yang meratapi kematian, jika ia tidak bertaubat sebelum kematiannya, maka pada Hari Kiamat nanti ia akan diberdirikan sementara di atasnya besi panas dan baju koreng."[1]

Kita memohon kepada Allah akan dijauhkan dari hal ini.

Nasehat saya untuk saudara-saudara saya, hendaknya meninggalkan perkara-perkara baru ini, karena meninggalkannya lebih utama di sisi Allah dan lebih utama bagi si mayat itu sendiri, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan, bahwa mayat itu disiksa karena tangisan dan ratapan keluarganya terhadap kematiannya. Maksudnya disiksa ini adalah menderita kesakitan akibat tangisan dan ratapan tersebut, tapi tidak disiksa seperti siksaan bagi pelakunya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

" Dan orang-orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." [Fathir : 18]

Siksaan yang dimaksud dalam hadits tadi bukan balasan, dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan,

"Perjalanan (safar) adalah bagian dari adzab."[2]

Yakni bahwa penderitaan, kedukaan dan sejenisnya dikatagorikan adzab. Contoh kalimat yang biasa dilontarkan, 'Aku di adzab oleh perasaanku sendiri.'

Kesimpulannya, saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku, untuk menjauhi kebiasaan-kebiasaan tersebut yang hanya menambah jauhnya diri dari Allah dan menambah penderitaan bagi yang meninggal.

[Fatawa Al-Fauzan, Nur ‘Ala Ad-Darb, juz 2, disusun oleh Fayiz Musa Abu Syaikhah]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
_________
Footnotes
[1]. Bagian dari hadits yang dlkeluarkan oleh Imam Muslim dalam Al-Masajid (nomor 934).
[2]. Bagian dari hadits yang keluarkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Al-'Umrah (nomor 1804). Muslim dalam Al-Imarah (nomor 1927).

HUKUM MEMBACAKAN AL-QUR’AN KEPADA ORANG MATI DI DALAM RUMAHNYA

بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana hukumnya membacakan Al-Qur’an untuk mayit, caranya : Dengan meletakkan beberapa buah mushaf dalam rumah, lalu datang para tetangga atau kenalan, masing-masing membaca satu juz misanya, kemudian kembali bekerja seperti biasa, tanpa diberi upah sedikitpun. Usai membaca Al-Qur’an, masing-masing berdo’a untuk si mayit, dan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an tersebut kepadanya. Apakah bacaan dan do’a tersebut akan sampai kepada mayit dan dia diberi pahala karenanya atau tidak? Kami ingin penjelasan, Terima kasih. Perlu diketahui, bahwa kami pernah mendengar sebagian ulama menyatakan keharamannya secara mutlak, sementara sebagian yang lain menyatakan makruh, bahkan sebagian lain memperbolehkan


Jawaban
Perbuatan tersebut dan yang sejenisnya tidak memiliki dasar sama sekali, dan tidak pernah diriwayatkan secara sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari para sahabat beliau bahwa mereka membacakan Al-Qur’an untuk orang yang sudah meninggal dunia. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Barangsiapa yang melakukan suatu amal ibadah tanpa perintah dari kami, maka amalannya tersebut tertolak”.

Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya, namun dengan pernyataan tegas (jazm). Sementara dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

“Barangsiapa membuat-buat suatu amalan dalam agama kami ini yang bukan termasuk bagian dari agama tersebut, maka amalannya itu tertolak”.

Sementara dalam Shahih Muslim, dari Jabir diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan dalam khutbah jum’at.

Amma ba’du.
“Sesungguhnya ucapan terbaik adalah Kitabullah dan petunjuk terbaik adalah petunjuk Muhammad. Hal terburuk adalah yang dibuat-buat (bid’ah), dan setiap bid’ah adalah sesat” An-Nasa-i menambahkan dengan sanad shahih : “Dan setiap kesesatan itu tempatnya di Neraka.

Adapun sedekah untuk orang mati dan mendo’akan mereka, niscaya dapat bermanfaat dan pahalanya dapat sampai kepada mereka berdasarkan ijma kaum muslimin. Hanya Allah yang dapat memberikan taufiq dan menjadi sandaran bagi kita.

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Eidisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penerjemah Abu Umar Abdillah, Penerbit At-Tibyan – Solo]

9.16.2008

Al-Ansar Media Center: “Sniper of Islam”


بسم الله الرحمن الرحيم



( ألا إن القوة الرمي , ألا إن القوة الرمي , ألا إن القوة الرمي)

إخوتنا الأحبة

في ظلمات ليلً بهيم , غشى أمتنا و طال بيضتنا, و ظننّا إنا فيه أبدا , إلتمعت فجأةً رصاصات الحق تضيئ عتمته , و تنخر أعمدته , و تصطاد هوامه الواحد تلو الآخر .

وسط الدياجير التي أرُاد بها قتل أمتنا جاء جند الحق كملائكة الموت يتدثرون بها و يكمنون فيها مترقبين و مترصدين لوطاويط الكفر و الظلم ليبعثوا إليهم بقبلة موتٍ ترميهم في سقر .

هم قناصة المجاهدين , كنانـتنا التي لا تنضب , و كابوس الأعداء الذي لا ينام … بأيديهم و سلاحهم , سطروا للمجد قصة يرويها للعالمين .

يتشرف مركز أنصار الإعلام بتقديم إصداره الجديد ((قناص الإسلام)) لعرض عمليات إخوتنا المجاهدين في كتيبة “درع الإسلام” من حملتهم المباركة (صعقة الحق) التي كانت إسم على مسمى بارك الله فيهم من رجال كانوا و الله درعٌ لأمتنا .

و يأتي إصدارنا هذا ضمن أسبوع “نصرة درع الإسلام” بإذن الله .


((قناص الإسلام))

الثمن / طلقة قناص فى صدر كافر



Video Sniper WMV
Video Sniper RMBV
VIDEO SNIPER 3GP

لا تنسونا و المجاهدين من صالح دعائكم
اخوانكم فى مركز انصار الإعلام

رمضان 1429 هـ

9.13.2008

PACARAN.....??? (Part 4 habis) Solusi

Bismillah



Eh Ntar Dulu deh..!
Bukankah banyak kejadian, orang-orang yang berpacaran dan bercinta-cinta dengan orang yang telah berkeluarga?


Ya emang sih! So,
pacaran tidak hanya mereka yang masih bujangan dan gadis, tetapi dari uisa akil balig hingga kakek nenek bisa berbuat seperti yang diancam oleh hukuman Allah tersebut di atas. Hanya saja, yang umum kelihatan melakukan pacaran adalah para remaja. Bener apa bener????

Namun, bukan berarti tidak ada solusi dalam Islam untuk berhubungan dengan nonmahram. Dalam Islam hubungan nonmahram ini diakomodasi dalam lembaga perkawinan melalui sistem khitbah/lamaran dan pernikahan.

Kayak yang ada di Cerpen tadi yach...???

Sesuai dengan hadist rasulullah Salallahu’alaihi wasalam
“Hai golongan pemuda, siapa di antara kamu yang mampu untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih memelihara kemaluan. Tetapi, siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat mengurangi syahwat.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Darami).

Selain dua hal tersebut di atas, baik itu dinamakan hubungan teman, pergaulan laki perempuan tanpa perasaan, ataupun hubungan profesional, ataupun pacaran, ataupun pergaulan guru dan murid, bahkan pergaulan antar-tetangga yang melanggar aturan di atas adalah haram, meskipun Islam tidak mengingkari adanya rasa suka atau bahkan cinta.

000 gitu yach....

Anda bahkan diperbolehkan suka kepada laki-laki/perempuan yang bukan mahram, tetapi Anda diharamkan mengadakan hubungan terbuka dengan nonmahram tanpa mematuhi aturan di atas. Maka, hubungan atau jenis pergaulan yang Anda sebutkan dalam pertanyaan Anda adalah haram.

Trus ngobrol gitu juga gak boleh yach...????

Nah, klo untuk ngobrol sich masih diperbolehkan dengan syarat:
Apabila anda adalah seorang perempuan maka anda harus ditemani oleh kakak laki-laki ataupun mahram laki-lakinya, dan anda harus berjilbab dengan jilbab yang syar’i agar tidak timbul fitnah.

Yang laki-laki gimana...???

Ya harus menyesuaikan dong, berarti lawan bicaranya harus mengikuti syarat diatas kalo gak ya gak boleh.

Gimana klo ada urusan????

Nah klo urusan itu urgen maka diperbolehkan kok, tapi kita harus tahu diri. Kerjakanlah urusan itu secepat mungkin jangan berlarut-larut dengan obrolan yang tidak penting. Apalagi bila berduaan.

Eh tambahan, dan jangan mengeluarkan kata-kata yang dapat menimbulkan fitnah seperti “Fulanah dah makan belom?”, atau “Gimana tidurnya semalam, nyenyak gak?” nah itu sebagian contoh dari kata-kata yang saya maksud.

Hidup di dunia yang singkat ini kita siapkan untuk memperoleh kemenangan di hari akhirat kelak. Oleh karena itu, marilah kita mulai hidup ini dengan bersungguh-sungguh dan jangan bermain-main. Kita berusaha dan berdoa mengharap pertolongan Allah agar diberi kekuatan untuk menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Semoga Allah menolong kita, amin.

Trus gimana cara kita tahu sifat calon pasangan kita dong?? Pacaran kan bwat ngetahuin itu!!

Nah, memang kita harus tahu latar belakang calon pendamping kita nantinya. Tapi tetap dilakukan dengan cara yang syar’i yaitu dengan cara bisa tanya secara langsung tapi dengan memakai pendamping (penengah) yang mahram. Atau, bisa melalui perantara, baik itu dari keluarga atau saudara kita sendiri ataupun dari orang lain yang dapat dipercaya. Hal ini berlaku bagi kedua belah pihak. Kemudian, bagi seorang laki-laki yang menyukai wanita yang hendak dinikahinya, sebelum dilangsungkan pernikahan, maka baginya diizinkan untuk melihat calon pasangannya untuk memantapkan hatinya dan agar tidak kecewa di kemudian hari, tetapi juga jangan kita pandangi terus. Mentang-mentang dah mau di khitbah terus memandangnya terus, ya sebelum ijab qabul di ucapkan syariat tetap membatasi. Sebagai mana sabda Rasulullah.
“Apabila seseorang hendak meminang seorang wanita kemudian ia dapat melihat sebagian yang dikiranya dapat menarik untuk menikahinya, maka kerjakanlah.” (HR Abu Daud).

Tambahan nih bwat kamu-kamu yang dah kebelet, dari pada pacaran mending langsung nikah azaaaaaaaa.....!!!!



Hal-hal yang mungkin dapat dilakukan sebagai persiapan seorang muslim apabila hendak melangsungkan pernikahan.
1. Memilih calon pasangan yang tepat.
2. Diproses melalui musyawarah dengan orang tua.
3. Melakukan salat istikharah.
4. Mempersiapkan nafkah lahir dan batin.
5. Mempelajari petunjuk agama tentang pernikahan.
6. Membaca sirah nabawiyah, khususnya yang menyangkut rumah tangga Rasulullah saw.
7. Menyelesaikan persyaratan administratif sesui dengan peraturan daerah tempat tinggal.
8. Melakukan khitbah/pinangan.
9. Memperbanyak taqarrub kepada Allah supaya memperoleh kelancaran.
10. Mempersiapkan walimah. (semoga bermanfaat)
Wallahu’alam bi shawab


WAH BOLEH TUH....!!!! [^_^]

Mohon tanggapan antum bwat smua tulisan di atas
(Created By: Mujahideen)

PACARAN.....??? (Part 3 + Cerpen)..

Bismillah



Nah Bro! Jadi kalo kalian dah tahu lebih jauh, mendingan tiggalin tuh yang namanya pacaran. Kalian semua harus punya prinsip n’ komitmen biar gak kejerumus ama yang begituan.

SUSAH .......!!!!

Eit, jangan bilang susah!


Bro! Tahu gak kinerja otak kita itu 85%-nya diatur oleh alam bawah sadar kita dan hanya 15% yang dilakukan dalam keadaan sadar. So, kita harus bisa memberi sugesti positif pada alam bawah sadar kita biar yang dikeluarkan oleh alam bawah sadar kita itu selalu yang positif bukan yang negatif. Kita harus punya komitmen, bilang pada diri kita bahwa kita BISA so kita pasti bisa ngerubah itu semua. Btul gak?

Klo tetap gak bisa trus gimana ?

(klo kata bang Roma “TERLALU”)

Memang untuk bisa ngerubah suatu hal pasti harus dengan disertai NIAT yang kuat. Ingat hadist Rasulullah SAW dari amirul mu’minin Abi Hafs bin Al-Khattab r.a. berkata “Bahwasanya segala amal perbuatan tergantung pada NIAT, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrah karena menuju (ridho) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa hijrah karena dunia (harta atau kemegahan dunia), atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kearah yang ditujunya.” (HR Bukhari – Muslim).

Nah kalo niat kita sudah kuat, Insyaallah, Allah akan memberikan jalan-Nya.

Guys! Coba kalian baca kisah temen kita yang insyaallah bisa diambil ibrohnya.
biar lebih dramatis lagi saya bikin namanya mirip dengan tokoh novel “Ayat-ayat Cinta”. (he....he.....he) Kang ABIK maaf nih nama tokohnya dipake dulu! Gak apa-apa khan?

Saat itu Fahri dan Aisyah masih duduk di bangku kelas 1 SMA, keduanya saling berkenalan pada masa orientasi siswa SMA. Memang masa-masa SMA adalah masa-masanya peralihan untuk setiap orang baik laki-laki maupun perempuan. Fahri adalah seorang siswa kelas 1-5, ia dikenal pintar dan berwajah rupawan, banyak teman-temannya satu sekolah mengaguminya salah satunya adalah Aisyah.

Aisyah adalah seorang siswi kelas 1-3, ia merupakan siswi yang paling berpengaruh di SMAnya, wajar saja Aisyah kan seorang ketua OSIS disana. Hampir dua semester Aisyah mengenal Fahri, mereka berdua sering ngobrol bareng saat jam istirahat. Pada akhirnya Fahri-pun membuka perasaannya pada Aisyah, tanpa pikir panjang Aisyah pun menerima Cinta Fahri. Mereka berdua semakin terlihat serius dengan hubungan mereka, mulai dari pulang bareng + gandengan tangan, ngobrol berduaan, dll. Sehingga akhirnya prestasi merekapun turun baik Fahri maupun Aisyah.

Melihat banyaknya fenomena tersebut, tergeraklah hati para aktivis di SMA tersebut untuk menyadarkan para kawula muda khususnya siswa dan siswi di SMA tersebut. mereka gencar mengadakan seminar-seminar tentang Ghozwul Fikri (Perang Pemikiran) dan dampak yang ditimbulkan.

Awalnya Fahri dan Aisyah tidak mau mendatangi seminar-seminar tersebut mereka berfikir bahwa itu semua tidak ada gunanya. Tetapi dengan kesabaran, doa, dan tarbiyah (pendidikan) yang terus dilakukan oleh para aktivis disana, Akhirnya membuahkan hasil. Banyak siswa dan siswi yang mulai berubah, mereka semakin tertarik dengan kajian-kajian yang diselenggarakan oleh para aktivis, bahkan tidak sedikit juga yang mau dan mulai mengikuti pertemuan-pertemuan (Liqo/Halaqoh) yang diadakan tiap pekannya.

Begitu juga dengan Fahri dan Aisyah, setelah mereka mengikuti beberapa seminar dan acara motivasi (Motivation Training). mereka mulai menunjukan adanya perubahan, mereka menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini “SALAH”. Fahri dan Aisyah akhirnya intensif mengikuti kajian-kajian dan Liqo tiap pekannya. Mereka berdua-pun bisa berubah.

Fahri yang tadinya selalu cuek dengan sikapnya, kini bisa berubah. Ia adalah seorang pemuda yang teguh dengan pendiriannya dan kini komitmen yang ia pegang adalah komitmen kepada Islam sepenuhnya.

Begitu juga dengan Aisyah ia yang tadinya hanya memakai kerudung gaul (kerudung yang hanya sampai ke leher dan baju serta celana panjang yang ketat) kini berubah, Ia menjadi Aisyah yang baru dengan Jilbab panjang ( Jilbab Syar’i ), dan juga penampilannya berubah yang tadinya ia gemar bersolek, menggunakan wewangian. Kini mulai ia tinggalkan, Ia menyadari kesuciannya yang harus ia jaga.

Mereka berdua memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, saat mereka bertemu di sebuah acara seminar.

“Aisyah, saya sadar bahwa selama ini yang kita lakukan itu salah, semoga Allah azzawajalla mengampuni dosa kita berdua.”

“Ya, benar lebih baik kita mengakhiri hubungan ini, apa yang kita dapat dari perbuatan kita selama ini bukanlah kebaikan tetapi dosa Astaghfurullah.”

“Apabila Allah menghendaki kita bersatu, pasti Allah akan memberikan jalan pada kita dan mempertemukan kita kembali.”

Mereka berdua-pun akhirnya mulai menjauhkan diri, selama mereka belajar di SMA. Mereka hanya bertemu pada saat ada seminar-seminar saja. Fahri dan Aisyah telah menemukan kehidupan barunya, kehidupan yang sesunguhnya yang lebih nikmat dibandingkan kehidupan duniawi semata, kehidupan yang berlandaskan Allah atas segalanya.

Tiga tahun mereka mengenyam pendidikan di SMA, dan berhasil lulus dengan predikat yang memuaskan. Sebenarnya Aisyah dan Fahri masih saling mengharapakan untuk bersatu, terlebih lagi saat mereka berdua sudah berkomitmen pada Islam yang sempurna.

Aisyah melihat Fahri merupakan sosok yang soleh, semua perilakunya berubah dan itu semakin menambah rasa cintanya pada Fahri. Begitu juga Fahri, ia melihat Aisyah merupakan sosok yang begitu menawan apalagi saat pertama ia melihat Aisyah memakai jilbab dan melihat sifat-sifatnya yang berubah, “Subhanallah” begitu cantik dan menawan. Tetapi mereka hanya bisa berdo’a

“Ya Allah, apabila ia adalah yang terbaik bagiku maka persatukanlah kami. Tetapi apabila ia bukanlah yang terbaik bagiku maka berikanlah ganti yang lebih baik. Engkau yang berkuasa pada hambamu yang lemah ini dan Engkau pula yang paling tahu apa yang terbaik bagiku”

Aisyah melanjutkan kuliahnya di sebuah Universitas di Padang, sedangkan Fahri melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta. Mereka berdua sangat teguh pada komitmennya mereka terus mengamalkan dan berda’wah di universitasnya masing-masing. Fahri menjadi ketua KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) di yogyakarta. Sedangkan Aisyah menjadi ketua komite muslimah di universitasnya.

Tidak terasa 4 tahun berlalu dan mereka berdua dapat lulus S1 dengan prestasi memuaskan. Setelah lulus Aisyah pulang kerumahnya di Bogor, sedangkan Fahri masih tetap berada di Yogyakarta untuk melanjutkan S2. sebelum ia melanjutkan kuliahnya, ia berencana untuk menikah terlebih dahulu. Fahri lalu menemui Murrabbinya ustadz Usman untuk membicarakan maksud mulianya.

“Ustadz, saya rasa saya sudah sangat siap untuk membina rumah tangga. Saya berencana untuk menikah sebelum saya melanjutkan kuliah.”

“Apa kamu sudah siap baik Ruhiyah dan Lahiriyah?”

“Insyaallah Ustadz, saya sudah siap dengan semuanya dan sudah saya pikirkan masak-masak.”

“Baiklah kalau begitu, kemarin juga saya baru mendapat informasi dari adik saya di Bogor, kalau ada seorang akhwat binaannya yang sedang mencari pendamping hidup. Bagaimana apa kamu mau?”

“Insyaallah, Ustadz.”

“ya sudah kalau begitu, tiga hari lagi kita berangkat ke Bogor untuk Ta’aruf ke rumah akhwat tersebut. insyaallah, nanti saya kabari adik saya.”

Tiga hari berlalu, Fahri dan ustadz Usman berangkat ke Bogor dengan menggunakan bus malam. Mereka berangkat pukul 17:00 WIB dan sampai di bogor sekitar pukul 7:00 WIB.

Sesampainya di terminal Baranang Siang Bogor. Fahri dan Murabbinya melanjutkan perjalanan kerumah adik perempuannya di daerah Cibinong, mereka naik bus tiga perempat jurusan Depok – Bogor. Sekitar pukul 8:10 mereka tiba di Cibinong dan melanjutkan perjalanan ke rumah Nurul adik perempuannya ustadz Usman untuk beristirahat.

Setelah beristirahat sejenak, Fahri berpamitan untuk pulang ke rumah orang tuanya di daerah Cikaret. Fahri disambut dengan bahagia oleh kedua orang tuanya dan kedua adiknya di rumah. Memang sudah satu tahun Fahri tidak pulang ke rumahnya.

Malam harinya, Fahri dan orang tuanya pergi kerumah Nurul, untuk bersama-sama pergi ke tempat akhwat yang akan dikhitbah oleh Fahri. Sampai di rumah Nurul, mereka langsung bertolak kerumah akhwat tersebut. Dalam perjalanan Fahri tidak menduga kalau rumah yang dimaksud adalah rumah Aisyah, akhwat yang pernah menjadi kenangan lamanya.

Setibanya disana Fahri teringat akan kenangan lamanya. Dalam hati ia bertanya-tanya.

“Bukankah ini rumah Aisyah?, Ah Bukan, Aisyah kan sudah pindah ke Padang.”
Tetapi ia malu untuk bertanya dengan Nurul, dirumah akhwat tersebut mereka semua disambut dengan hangat. Kebetulan Fahri memang belum pernah bertemu dengan kedua orang tua Aisyah, sehingga saat mereka bertemu Fahri tidak merasa mengenal mereka berdua.

Setelah berbincang-bincang agak lama, Aisyah disuruh membawakan teh hangat untuk para tamu.

“Is tolong bantu bik Inah mengeluarkan minuman untuk para tamu, lalu duduklah bersama kami ada yang mau bertemu dengan mu.”

Beberapa saat kemudian bik Inah datang membawakan teh hangat, dan disusul Aisyah. Di depan pintu Aisyah terkejut melihat Fahri, begitu juga dengan Fahri mereka saling berpandangan untuk beberapa saat. Aisyah tidak menduga kalau yang akan meminang dia adalah Fahri. Dalam hati Aisyah mengucapkan tasbih berulang kali.

“Subhanallah, Subhanallah, Alhamdulillah, maha besar engkau yang telah mempertemukan kami kembali pada pertemuan yang penuh dengan berkah ini Insyaallah.”

Fahri yang tertegun oleh seorang akhwat yang sudah lama tidak ia jumpai, tidak henti-hentinya memuji Allah. Fahri tertegun akan kecantikan dan pesona Aisyah, Ia tidak menyangka bahwa Aisyah benar-benar anggun dengan jilbab panjangnya dan kelembutannya, benar-benar berbeda dengan yang pernah ia kenal saat kelas satu SMA.

“Astagfirullah,” ucap Fahri

Sesaat fahri sadar bahwa akhwat yang ia pandang belumlah menjadi istrinya dan syariat masih membatasi. Ia tidak memiliki hak untuk memandangi wajah rupawan Aisyah.
Setelah terjadi perbincangan yang agak lama, akhirnya mereka (fahri dan yang lainnya) memberitahukan maksud mereka datang ke rumah Aisyah.
“maaf pak, bu, kedatangan kami kemari adalah untuk mengkhitbah Aisyah”.

“Alhamdulillah, untuk siapa?”

“Ini Saudara saya, Fahri”.

“Memang Allah maha tahu, kebetulan semalam baru saja saya ngobrol dengan Aisyah dan mendesak ia untuk segera menikah tapi katanya belum ada calonnya”.

Setelah perbincangan berakhir mereka pun pamit untuk pulang kembali ke rumah. Sepanjang jalan Fahri hanya terdiam membisu, di saat itulah Ustadz Usman menegur Fahri.

“Akh, apa yang antum pikirkan?”

“Oh, Afwan Ustadz tidak ada apa-apa?”

“Bagaimana? Apa antum sudah bertekad mau lanjut?”

“Biarlah saya Shalat Istikhoroh dulu Ustadz, Inshaallah, agar lebih yakin”.

“Alhamdulillah”.

Seminggu setelah pertemuan itu, kedua insan itu akhirnya melangsungkan walimahan (Menikah). Mereka hidup bahagia sampai saat ini dan dikaruniai 2 orang anak.

Subhanallah, Walhamdulillah, Walaa ilaahailallah, Wallahu Akbar

Mohon Tanggapannya

PACARAN.....?? (Part 2)

Bismillah

Hei Guys coba dech renungin uraian dibawah ini!
Firman Allah SWT surat Al-Isra: 32,
“dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS: Al-Isra, 32)


"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat"."
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS Annur: 30-31)

Nah, saudaraku sekalian, yang dimaksud menundukkan pandangan(Ghadhul Basyar) yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan dapat dikatakan terpelihara apabila secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat mengulangi melihat lagi atau mengamat-amati kecantikannya atau kegantengannya.
Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi, ‘Palingkanlah pandanganmu itu!” (HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizi).

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya, “Kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan zina, kedua kaki itu (bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan dibenarkan atau diingkari oleh alat kelamin.” (Hadis sahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas dan Abu Hurairah).

“Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya bicara, tangan zinanya memaksa (memegang dengan keras), kaki zinanya melangkah (berjalan) dan hati yang berhazrat dan berharap. Semua itu dibenarkan (direalisasi) oleh kelamin atau digagalkannya.” (HR Bukhari).

Rasulullah saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, “Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Al-Hakim meriwayatkan, “Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya.”

Yang terendah adalah zina hati dengan bernikmat-nikmat karena getaran jiwa yang dekat dengannya, zina mata dengan merasakan sedap memandangnya dan lebih jauh terjerumus ke zina badan dengan saling bersentuhan, berpegangan, berpelukan, berciuman, dan seterusnya hingga terjadilah persetubuhan.
Ath-Thabarani dan Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah berfirman yang artinya, ‘Penglihatan (melihat wanita) itu sebagai panah iblis yang sangat beracun, maka siapa mengelakkan (meninggalkannya) karena takut pada-Ku, maka Aku menggantikannya dengan iman yang dapat dirasakan manisnya dalam hatinya.”
Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan, seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya.”

Di dalam kitab Dzamm ul Hawa, Ibnul Jauzi menyebutkan dari Abu al-Hasan al-Wa’ifdz bahwa dia berkata, “Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Wa’idz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, ‘Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah Anda?’ Dia menjawab, ‘Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, ‘Wahai Habib?’ Aku menjawab, ‘Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah.’ Allah berfirman, ‘Lewatlah Kamu di atas neraka.’ Maka, aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, ‘Aduh (karena sakitnya).’ Maka. Dia memanggilku, ‘Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka).”

Hal tersebut sebagai gambaran bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di akhirat kelak.
“Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka berdua mengajakku keluar. Maka, aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya membawaku melihat lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya, menyala api, dan bila meluap apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga hampir keluar. Jika api itu padam, mereka kembali ke dasar. Lantas aku berkata, ‘Apa ini?’ Kedua orang itu berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan zina.” (Isi hadis tersebut sudah diringkas redaksinya. Hadis di ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Di dalam kitab Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a., keduanya berkata, Rasulullah saw. Berkhotbah, “Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barang siapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barang siapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan dibelenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan, barang siapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda, dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut.”

‘Atha’ al-Khurasaniy berkata, “Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang paling menakutkan, paling panas, dan paling busuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi para pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya.”

Dari Ghazwan ibn Jarir, dari ayahnya bahwa mereka berbicara kepada Ali ibn Abi Thalib mengenai beberapa perbuatan keji. Lantas Ali r.a. berkata kepada mereka, “Apakah kalian tahu perbuatan zina yang paling keji di sisi Allah Jalla Sya’nuhu?” Mereka berkata, “Wahai Amir al-Mukminin, semua bentuk zina adalah perbuatan keji di sisi Allah.” Ali r.a. berkata, “Akan tetapi, aku akan memberitahukan kepada kalian sebuah bentuk perbuatan zina yang paling keji di sisi Allah Tabaaraka wa Taala, yaitu seorang hamba berzina dengan istri tetangganya yang muslim. Dengan demikian, dia telah menjadi pezina dan merusak istri seorang lelaki muslim.” Kemudian, Ali r.a. berkata lagi, “Sesungguhnya akan dikirim kepada manusia sebuah aroma busuk pada hari kiamat, sehingga semua orang yang baik maupun orang yang buruk merasa tersiksa dengan bau tersebut. Bahkan, aroma itu melekat di setiap manusia, sehingga ada seseorang yang menyeru untuk memperdengarkan suaranya kepada semua manusia, “Apakah kalian tahu, bau apakah yang telah menyiksa penciuman kalian?” Mereka menjawab, “Demi Allah, kami tidak mengetahuinya. Hanya saja yang paling mengherankan, bau tersebut sampai kepada masing-masing orang dari kita.” Lantas suara itu kembali terdengar, “Sesungguhnya itu adalah aroma alat kelamin para pezina yang menghadap Allah dengan membawa dosa zina dan belum sempat bertobat dari dosa tersebut.”

NA’UDZUBILLAHIMINDZALIK

PACARAN.....???

Bismillah



APA SICH PACARAN ITU?
PACARAN merupakan sebuah nama atau sebutan bagi dua insan manusia yang saling berinteraksi dengan ikatan suka sama suka diantara kedua insan tersebut. Cie.....Cie.......


INTERAKSI YANG TERJADI APA AJA?
Wah, buanyaaaaaaaak banget dech! Mulai dari saling memandang, terus saling senyum, saling menyapa, kenalan, ngobrol, telpon-telponan, SMS-an, Eh Akhirnya Jadian, terus Jalan Bareng + Gandengan tangan, Berdua-dua-an, Ngobrol + Curhat, Saling Memandang, Pegang sana pegang sini, dan masih banyak lagi deh. Nah Klo dah gitu ujung-ujungnya(Puncaknya) nanti DUARRR...!!! kecelakaan, dan harus masuk ke UGD.

WAW Sereeeeeeem......!!!!!

NAH TRUS BAGAIMANA HUKUMNYA DALAM ISLAM?

Bro! Dalam islam, hubungan antara pria dan wanita itu terbagi menjadi 2, yang pertama adalah hubungan mahram dan hubungan non-mahram. Hubungan mahram adalah seperti yang disebutkan dalam Surah An-Nisa 23,

“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

[281] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

Kesimpulannya mahram seorang laki-laki (atau wanita yang tidak boleh dikawin oleh laki-laki) adalah ibu (termasuk nenek), saudara perempuan (baik sekandung ataupun sebapak), bibi (dari bapak ataupun ibu), keponakan (dari saudara sekandung atau sebapak), anak perempuan (baik itu asli ataupun tiri dan termasuk di dalamnya cucu), ibu susu, saudara sesusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan. So, yang tidak termasuk mahram adalah sepupu, istri paman, dan semua wanita yang tidak disebutkan dalam ayat di atas.
Aturan untuk mahram sudah jelas, yaitu seorang laki-laki boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan mahramnya, semisal bapak dengan putrinya, kakak laki-laki dengan adiknya yang perempuan, dan seterusnya. Demikian pula, dibolehkan bagi mahramnya untuk tidak berhijab di mana seorang laki-laki boleh melihat langsung perempuan yang terhitung mahramnya tanpa hijab ataupun tanpa jilbab (tetapi bukan auratnya lho!), semisal bapak melihat rambut putrinya, atau seorang kakak laki-laki melihat wajah adiknya yang perempuan. Aturan yang lain yaitu perempuan boleh berpergian jauh/safar lebih dari tiga hari jika ditemani oleh laki-laki yang terhitung mahramnya, misalnya kakak laki-laki mengantar adiknya yang perempuan tour keliling dunia. Aturan yang lain bahwa seorang laki-laki boleh menjadi wali bagi perempuan yang terhitung mahramnya, semisal seorang laki-laki yang menjadi wali bagi bibinya dalam pernikahan.
Nah kalo Hubungan yang kedua adalah hubungan nonmahram, yaitu larangan berkhalwat (berdua-duaan), larangan melihat langsung, dan kewajiban berhijab di samping berjilbab, tidak bisa berpergian lebih dari tiga hari dan tidak bisa menjadi walinya. Ada pula aturan yang lain, yaitu jika ingin berbicara dengan nonmahram, maka seorang perempuan harus didampingi oleh mahram aslinya. Misalnya, seorang siswi SMU yang ingin berbicara dengan temannya yang laki-laki harus ditemani oleh bapaknya atau kakaknya. Dengan demikian, hubungan nonmahram yang melanggar aturan di atas adalah haram dalam Islam.

Bersambung

9.10.2008

Daulah Islam Irak Inginkan Kematian Pemimpin Partai Politik Islam Irak

Bismillah



DIYALA – Pemimpin Daulah Islam Irak menginginkan kematian semua anggota partai politik Islam Irak, hal ini disampaikan dalam sebuah rekaman yang disebarkan di website-website kelompok jihad.


Abu Umar Al-Baghdadi, pemimpin Daulah Islam Irak mengatakan para pemimpin partai politik Islam Irak mempunyai waktu 15 hari untuk bertaubat, atau akan segera dibunuh.

“Dengan ini saya umumkan kepada partai-partai Islam di Irak, baik pemimpin atau anggotanya yang telah memusuhi Allah Swt dan Muhammad Saw, kalian telah melakukan pemurtadan dan kalian halal dibunuh di mana saja jika kami menemukan kalian.” Ujar Al-Baghdadi.

Al-Baghdadi mengumumkan lima pemimpin Irak yang harus dibunuh secepatnya termasuk Wakil Presiden Irak, Tariq al-Hashemi. Ia menjanjikan penghargaan yang sangat tinggi untuk kematian mereka.

Pesan al-Baghdadi ditujukan untuk partai-partai politik Islam Irak, terutama Fraksi Sunni di Parlemen, yang kini memerangi mujahidin Daulah Islam Irak di Provinsi Anbar dan wilayah lainnya.

Sampai saat ini AS menganggap al-Baghdadi hanyalah karakter fiktif yang diciptakan oleh pejuang-pejuang Daulah Islam Irak (al-Qaeda).

Dalam pesannya, Al-Baghdadi juga menghimbau masyarakat muslim di Provinsi Diyala untuk terus memerangi pemerintah --yang telah jelas kekafirannya-- dan pasukan kafir AS.

“Jadilah manusia yang setia dan meneruskan perlawanan,” ujar al-Baghdadi. “Kami berjanji, suatu hari kami akan menduduki Irak dan kini kami telah berada di ambang kemenangan.”

Sumber: Arrahmah.com

JADILAH TRENSENTER SYAR’I

Bismillah



Temukan gaya berpakaianmu ukhti muslimah!


1.Menutup dan Melindungi seluruh tubuh, Selain yang Dikecualikan.
“Hai Asma’, sesungguhnya wanita, apabila telah sampai ke tanda kedewasaan (haidh), tidak boleh terlinat bagian tubuhnya kecuali ini dan ini---beliau mengisyaratkan muka dan telapak tangannya—“ (HR abu dawud, Al albani meng-hasan-kannya)

Seratus lima puluh centimeter, seratus dua puluhlima, dan minimal seratus lima belas centimeter. Itulah ukuran kain (jilbab) yang seharusnya engkau pilih wahai ukhti…(dikutip dari majalah Annida). Ya… menutup bahu lah! Biar kalau ada angin rambutmu terlindungi, dan kalau ketarik, bayangan(……..)mu ga keliahatan! Hayoo….yang ini sering ga kamu sadari yaaa…?
2.Bukan Tabarrujj
“… Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu…” (Al Ahzab 33)
Menor, berlebihan, boros, artificial, dan fisik semata. Itulah yang tidak diinginkan Allah SWT. Ia ingin agar mereka cantik, mulia, dan mempesona dengan dandanan iman. Cantik kartena akhlaqnya. Mulia karena ia bukan pameran berjalan yang dipelototi dan diamati. Dan mempesona karena setiap langkahnya adalah pahala, pahala, pahala.
3.Kainnya Tebal
“Akan muncul di akhir umatku, wanita-wanita yang
berpakaian namun pada hakekatnya bertelanjang.
Di atas kepala mereka tedapat sesuatu penaka punuk unta.
Mereka tidak akan memasuki surga, dan tidak juga akan mencium aroma surga.
Padahal bau surga itu dapat dicium dari jarak sekian dan sekian.” (HR Muslim)

Al Imam Ibnu ‘Abdil Barr menjelaskan, bahwa yang dimaksud berpakaian tapi telanjang adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, belum menutup atau menyembunyikan tubuh yang sebenarnya.
4.Kainnya longgar, Tidak Sempit, dan Tidak “jatuh”
Kisah riwayat Usmah bin Zaid: “rasulullah saw memberiku pakaian Qibthiyah (gaya Mesir) yang tebal, hadiah dari Dihyah Al Kalbiy.”
5.Tidak Diberi wangi Haruman
6.Tidak Menyerupai Pakaian laki-laki
7.tidak menyerupai PakaianOrang Kafir
8.Bukan Merupakan Libasusy Syuhrah

KESALAHAN PENGGUNAAN AL FATIHAH

Bismillah



Tidak dipungkiri bahwa al-Fatihah adalah sebuah surat yang agung. Secara makna, surat ini ringkas tetapi mengandung makna yang sangat dalam. Bahkan bisa dikatakan, semua kandungan al-Qur’an telah termuat di dalam surat ini secara global. Sehingga surat ini dinamakan pula dengan Ummul Kitab atau Ummul Qur’an (induk al-Qur’an).


Selain keagungan dari segi makna, ada pula keagungan lain yang ditunjukkan di dalam hadis nabi, di antarany adalah;
Dari Abu Sa’id Ibnul Mu’alla ra, beliau mengatakan: Suatu ketika aku sedang shalat sunnah, Rasulullah -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memanggilku, maka aku tidak menjawabnya sampai aku menyelesaikan shalatku. Lalu aku mendatangi beliau -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam-,” Beliau bertanya, “Mengapa Engkau tadi tidak menjawab seruanku ?” Aku menjawab, “wahai utusan Allah, aku tadi sedang shalat.” Beliau berkata, “Bukankah Allah telah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu?” Kemudian Rasulullah -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al-Qur’an sebelum kamu keluar dari masjid?” Abu Said berkata, “Lalu beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al-Qur’an?” Maka beliau bersabda, “Benar. (surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al-Qur’an Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR al-bukhari, Abu Dawud dan Ahmad, teks hadis ini mengikuti riwayat Imam Ahmad)
Tentang keagungan ini, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’, baik khalaf maupun salaf.
Namun saat ini, muncul berbagai tindakan aneh yang dilakukan oleh umat muslim terhadap surat al-Fatihah. Di antara tindakan aneh tersebut, menjadikan al-Fatihah sebagai bacaan untuk membuka suatu majelis atau kegiatan, hadiah bagi orang mati dan hadiah untuk Rasulullah ataupun orang-orang shalih.
Pertama; Al-Fatihah sebagai pembuka kegiatan
Mungkin kita pernah menghadiri suatu majelis, lalu MC memulai dengan mengatakan, “Marilah kita buka acara ini dengan bacaan ummul Qur’an, Al-Fatihah!” Di beberapa tempat di Indonesia hal ini cukup mentradisi. Bahkan boleh dikatakan telah mendarah daging. Tetapi sesungguhnya hal ini tidak sesuai dengan tuntunan Syari’ah.
Memang bacaan al-Fatihah itu baik, tetapi jika dikaitkan dengan suatu peristiwa tertentu, menjadi tidak baik. Kalau kita baca sewaktu-waktu tidak masalah, tetapi ketika dikhususkan membacanya untuk membuka suatu kegiatan, namanya menadi bid’ah.
Tidak ada sepotong dalil pun yang mejelaskan pembukaan kegiatan dengan bacaan al-Fatihah. Yang diterangkan di dalam ayat dan hadis-hadis nabi, untuk memulai kegiatan adalah dengan membaca basmalah. Anjuran agar memulai sesuatu dengan basmalah cukup banyak, meskipun dengan bacaan yang bermacam-macam. Di antaranya adalah;
Membaca basmalah ketika akan wudlu’.
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا وُضُوءَ لَهُ وَلَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada (sah) shalat bagi yang tidak berwudlu, dan tidak ada wudlu bagi yang tidak menyebut nama Allah untuk wudlu’nya.” (HR Ahmad)
Ketika menyembelih
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”
Ketika hendak memulai makan dan minum.
يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“wahai pemuda, bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari yang terdekat denganmu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Ketika keluar dan masuk rumah.
“Apabila seseorang keluar dari rumah dengan membaca Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa haula walaa quwwata illa billah, dikatakan kepadanya ketika itu, engkau diberi petunjuk, dicukupi, dijaga, maka syetan pun menjauh darinya. (HR Abu Dawud)
Ketika naik mobil, pesawat, kapal dan sebagainya.
Bahwa Rasulullah -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- apabila menaiki binatang tunggangannya ia berkata,
بِسْمِ اللهِ ، الْحَمْدُ للهِ ، سُبْحانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ.
“Dengan nama Allah, segala puji bagi-Nya, Maha Suci Rabb yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya.”
Maka dalam memulai suatu kegiatan cukuplah dengan basmalah, yaitu membaca bismillahirrahmanirrahim.
Kedua: Al-Fatihah dibaca untuk orang yang mati
Ada juga di antara masyarakat muslim yang suka mengirimkan bacaan al-fatihah kepada orang mati, baik dari kalangan kaum shalihin atau keluarga mereka. Biasanya mereka membaca dengan di awali kata, “Ila ruhi…., al-Fatihah!”.
Selain itu, tentu masih segar dalam ingatan kita, ketika Pak harto wafat tak ketinggalan presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono memberikan sambutan. Di akhir sambutannya beliau mengajak kepada seluruh elemen bangsa Indonesia untuk mendo’akannya. Setelah itu, beliau memberi komando sengan mengatakan, “al-Fatihah….!!”
Tindakan ini adalah tindakan yang tidak sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Ada beberapa alasan untuk menegaskan ketidaksesuaian tersebut dengan tuntunan Islam, antara lain;
1. Karena al-Qur’an diturunkan Allah untuk mereka yang hidup agar di amalkan, dan tidak diturunkan kepada yang mati. Allah berfirman tentang al-Qur’an,
لِيُنذِرَ مَن كَانَ حَيًّا
“Supaya dia memberi peringatan kepada orang orang yang hidup.”
dan dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang mati maka putuslah amalnya kecuali 3 hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan orang tuanya.(HR Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad)
2. Ibnu katsir menyebutkan ketika menerangkan firman Allah,
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh kecuali apa yang ia usahakan”,
Sebagaimana ia tidak menanggung dosa orang lain, maka ia juga tidak mendapatkan pahala kecuali apa yang ia usahakan untuk dirinya sendiri.
Dari ayat yang mulia ini Imam syafii menyimpulkan bahwa membaca al-Fatihah untuk dikirimkan pahalanya kepada si mayit, maka pahala tersebut tidak akan sampai kepadanya, karena bukan dari amal perbuatannya ataupun usahanya. Dan karenanya Rasulullah -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tidak menyunnahkan (menganjurkan) umatnya untuk melakukannya, memerintahkannya, ataupun membimbingnya dengan suatu Nash. Hal seperti itu tidak didapati dari para sahabat. Seandainya itu merupakan kebaikan, tentulah mereka akan mendahului kita dalam mengerjakannya.
Adapun do’a, maka ulama sepakat bahwa keduanya akan sampai, dan ada nash yang mensyariatkannya.
3. Tidak ada riwayat dari Nabi -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan sahabatnya bahwa mereka membaca al-Fatihah surat lain untuk mayit, bahkan Rasul -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- berkata kepada para sahabatnya ketika selesai mengubur mayit;
اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ قَالَ أَبُو دَاوُد بَحِيرٌ ابْنُ رَيْسَانَ
“Mohonlah ampun bagi saudaramu, dan mintakanlah ketetapan atasnya, karena sekarang ia sedang ditanya.” (HR Abu Dawud)
Demikian juga Rasulullah -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tidak mengajari para sahabat untuk membaca al-Fatihah ketika memasuki kuburan, akan tetapi mengajarkan kepada mereka untuk mengatakan,
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ
“Keselamatan bagimu wahai ahli kubur dari kaum mukminin, dan kita insya Allah akan bertemu dengan kalian, aku memohon (afiyat) keselamatan dari adzab dari Allah bagikami dan kalian semua.”(HR Muslim, an-Nasa’i Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadits ini menyuruh kita untuk memohon afiyat bagi mayit bukan untuk berdoa kepada mereka atau meminta pertolongan dengan mereka.
Ketiga: Membaca al-Fatihah untuk Nabi -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam-
Meskipun mengucap al-Fatihah kepada nabi bisa dimasukkan ke dalam mengucapkan al-Fatihah untuk orang mati, hal ini sengaja dipisahkan karena nabi memiliki hak-hak khusus. Namun bagaimana pun juga tidak ada dasar untuk melakukan tindakan ini, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Para sahabat pun juga tidak pernah melakukannya. Adapun dalil tentang kewajiban terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ada yaitu perintah untuk mengucapkan shalawat atas beliau -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
1. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Ayat ini memerintahkan kita untuk membaca shalawat atas Nabi -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, bukan untuk membacakan al-Fatihah untuknya atau untuk memohon kepadanya agar kesulitan kita berakhir.
2. Nabi -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- juga telah bersabda,
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
“Barang siapa membaca shalawat untukku sekali, maka Allah membalasnya sepuluh kali karenanya.” (HR Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)


TAWADHU



Tawadhu’lah engkau seperti bintang, engkau dapat melihatnya di permukaan air walaupun ia berada tinggi di angkasa. Janganlah engkau seperti asap. Ia terbang tinggi ke angkasa, tetapi pada hakikatnya ia tiada berharga. (syair)


Pengertian Tawadhu
Tawadhu adalah menjaga hati dengan rendah diri (merendah) dengan tanpa menghinakan diri.

Menurut para Ulama Tawadhu’ adalah:

1. Fudha’il bin iyadh: “Anda tunduk dan patuh kepada kebenaran dan menerimanya dari siapa pun yang mengucapkannya.”
2. Ibnul qayim al jauyiah: “tawadhu’ adalah mengakui kekuasaan Allah dengan merendahkan diri, tunduk, dan patuh kepadaNya serta menghambakan diri kepadaNya.”

Jadi dapat diambil kesimpulan Tawadhu’ adalah ketundukan kepada kebenaran yang datang dari Allah dengan selalu menyandarkan pada Tauhid dan menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya, janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua orang. Atau engkau menganggap semua orang membutuhkan dirimu.

Merendahkan diri (tawadhu’) adalah sifat yang sangat terpuji di hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang mencintai sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat terpuji ini mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.

Rasulullah merupakan contoh paling utama dalam segala hal, begitu juga dengan Tawadhu’ beliau, dalam beberapa riwayat dijelaskan ketawadu’an beliau, dikatakan : Rasulullah suka membetulkan sandalnya sendiri, menambal bajunya yang sobek, senang duduk bersama orang-orang miskin, berjalan dengan janda-janda dan anak-anak yatim, memenuhi undangan yang sajiannya sangat sederhana, menerima pendapat orang lain meskipun itu dari seorang budak, dll.
Begitu juga dengan para sahabat Rasulullah, mereka sangat terkenal ke-Tawadhu’an-nya, seperti:
1. Abu Bakar saat menjadi khalifah (Pemimpin Negara) selalu memerah susu untuk keluarganya dan rakyatnya.
2. Ali bin Abi Tholib yang memakai pakaian yang betambal disana sini.
3. Umar bin Khatab yang selalu memanggul air sendiri.
4. Usman bin Affan yang selalu tidur di dalam masjid tanpa ada yang menemani.
Beberapa contoh dari Sahabat Rasulullah tersebut merupakan sesuatu yang sangat susah ditemui saat ini. Padahal mereka (Sahabat) adalah seorang khalifah yang tidak hanya memimpin satu negeri, tetapi memimpin hampir setengah negara yang ada di dunia ini, tetapi mereka tidak menjadikan tahta dan harta sebagai tujuanya hidup mereka, mereka lebih memilih Allah dan Rasulnya.
Kebaikannya, pada saat ini belum ada pemimpin khusunya di Indonesia tercinta ini yang dapat dijadikan sebagai contoh baik bagi rakyatnya. Kebanyakan dari mereka bertolak belakang dengan yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, Tabi’in, Tabiut-tabi’in dan generasi Salafush Shaleh.
Kebanyakan pemimpin saat ini, meskipun mereka mengaku adalah seorang muslim tetapi sama sekali tidak tampak kemuslimannya. Mereka sangat angkuh dan sombong dengan jabatan yang telah diraihnya dan melupakan amanah utama mereka yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT yang telah menciptakannya. Tampak dalam diri mereka tidak ada rasa takut kepada Allah, mungkin karena mereka yakin bahwa mereka akan masuk Surganya Allah SWT, padahal Rasulullah Telah bersabda

”Maukah aku beritahu tentang Ahlinnar (Ahli Neraka) mereka adalha orang yang tinggi hati, congkak, dan Sombong.” (HR Muslim)

”Barang siapa yang mengulurkan bajunya dengan perasaan sombong maka Allah tidak akan melihatnya dihari kiamat kelak.” (HR Muslim)

Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya...

“aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” (QS. 7: 146)

Tawadhu’ adalah salah satu akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati dan ketinggian derajat pemiliknya. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena mencari ridho Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barang siapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya.Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi” (HR. Al Baihaqi)
Mengukur ketawadhu’an

Sa’id Hawwa dalam bukunya Al Mustakhlash fi Tazkiyatun Nafs, menyebutkan ada beberapa percobaan yang dapat dilakukan untuk mengukur apakah di dalam jiwa seseorang terdapat kesombongan atau ketawadhu’an.

1. Hendaknya ia berdiskusi dengan orang lain dalam suatu masalah. Apabila ia keberatan mengakui kebenaran dari perkataan lawan diskusinya dan tidak berterima kasih atas bantuan lawannya untuk mengetahui hal tersebut, maka di dalam hatinya masih terdapat kesombongan. Sebaliknya, bila ia mengakui dan menerima kebenaran lawannya tersebut, berterima kasih kepadanya dan lisannya mengakui kelemahan dirinya dengan tulus, misalnya dengan mengatakan, Alangkah bagusnya perkataanmu terhadap sesuatu yang belum aku ketahui. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas ilmu yang dibukakan oleh Allah untukku melalui kamu!, maka jika hal itu dilakukan berulang-ulang, sehingga manjadi tabiat dirinya berarti ia telah memiliki sifat tawadhu’ dan terbebas dari kesombongan.

Dalam suatu riwayat disebutkan tatkala Umar bin Khatab ra selesai menyampaikan pidato untuk membatasi mahar wanita, seorang wanita berdiri seraya berkata, “Wahai Umar, apa urusanmu dengan mahar kami, padahal Allah saw berfirman, “…sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak…” (QS. 4 : 20). Menanggapi hal itu Umar berkata, “Benarlah wanita itu dan salahlah Umar.

2. Hendaklah berkumpul bersama teman-teman sebaya dalam berbagai pertemuan, lalu mendahulukan mereka atas dirinya, tidak menonjolkan diri di tengah-tengah mereka, dan berjalan di belakang atau di tengah, bukan di depan. Bila hal itu terasa berat, berarti masih ada kesombongan di dalam dirinya. Sebaliknya, jika hal itu terasa ringan baginya, berarti sifat ketawadhu’an telah ada dalam dirinya. Abu Darda ra berkata: “Seseorang akan bertambah jauh dari Allah selama (ia menyukai) orang yang berjalan di belakangnya”.

3. Hendaklah memenuhi undangan orang miskin atau yang lebih rendah statusnya dari dirinya. Apabila ia merasa berat melakukannya berati masih ada kesombongan dalam hatinya. Dalam suatu riwayat dikisahkan, Rasulullah saw melihat ada orang kaya yang duduk di sebelah orang miskin lantas ia menjauh dari si miskin dan melipat pakiannya, maka Rasulullah berkata kepadanya, “Apakah kamu takut kefakirannya menular padamu?” (HR. Ahmad).

4. Hendaklah membawa barang-barangnya atau barang yang dibutuhkan keluarganya sendiri, tanpa dibawakan orang lain. Apabila ia merasa berat untuk melakukan hal tersebut, meski tidak ada orang yang melihatnya maka itu adalah kesombongan dan apabila ia tidak merasa berat kecuali bila dilihat oleh orang banyak, maka ia termasuk riya’ (ingin diperhatikan orang lain). Keduanya merupakan penyakit jiwa dan lawan dari sifat tawadhu.’

5. Hendaklah memakai pakaian yang sangat sederhana. Apabila ia merasa berat melakukannya di hadapan orang banyak, maka ia riya’ dan bila ia tidak mau melakukannya saat tidak dilihat orang banyak, maka itu adalah kesombongan. Zaid bin Wahab berkata, “Saya meilhat Umar bin Khatab ra menuju pasar dengan membawa susu dan mengenakan pakaian yang padanya terdapat empat belas tambalan, sebagiannya tertambal dengan kulit binatang”.

Memperoleh ketawadhu’an

Sifat tawadhu’ tidak dapat diperoleh secara spontan, tetapi harus diupayakan secara bertahap, serius dan berkesinambungan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu’ adalah :

1. Mengenal Allah SWT

Dalam sebuah kata mutiara disebutkan, “Setiap manusia akan bersikap tawadhu’ seukuran dengan pengenalannya kepada Tuhannya”. Orang yang mengenal Allah dengan sebenar-benarnya pengenalan akan menyadari bahwa Allah Yang Maha Kuasa, Maha Kaya dan Maha Perkasa yang tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Karenanya, bila mendapatkan kebaikan maka ia memuji Allah SWT dan bersyukur kepadanya, sebab pada hakekatnya ia tidak mampu mendatangkan kebaikan kepada dirinya kecuali atas izin-Nya. Orang yang mengenal Allah akan mengakui dirinya kecil dan lemah, sehingga ia akan tawadhu’ dan merasa tidak pantas untuk berlaku sombong.

2. Mengenal Diri

Dilihat dari asal usulnya, manusia berasal dari sperma yang hina yang selalu dibasuh jika terkena pakaian atau badan. Kemudian manusia lahir ke dunia dalam keadaan tanpa daya dan tidak mengetahui apapun.

“ dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. 16 : 78)

Karenanya, manusia tidak berhak sombong. Ia harus bersikap tawadhu’, sebab ia lemah dan tidak mempunyai banyak pengetahuan. Bahkan ia tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk menyelamatkan makanan yang telah direbut oleh seekor lalat.

3. Mengenal Aib Diri

Seseorang dapat terjebak kepada kesombongan bila ia tidak menyadari kekurang dan aib yang ada pada dirinya. Boleh jadi seseorang mengira bahwa dirinya telah banyak melakukan kebaikan padahal ia justru melakukan kerusakan dan kezaliman. “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang–orang yang mengadakan perbaikan” (QS. 2 : 11).

Oleh karena itu, setiap muslim harus selalu melakukan instropeksi diri sebelum melakukan, saat melakukan dan setelah melakukan sesuatu sebelum ia dihisab oleh Allah SWT kelak. Hal itu juga agar ia menyadari kekurangan dan aib dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawadhu’ dan tidak akan sombong kepada orang lain.

4. Merenungkan nikmat Allah

Pada hakikatnya, seluruh nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur. Namun banyak di antara manusia yang tidak menyadari hal tersebut, sehingga membanggakan, bahkan menyombongkan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Sebagian ulama berkata; “Kekaguman pada diri sendiri (ujub) adalah pangkal kesombongan”. Karena itu, agar dapat menghilangkan sifat sombong dan memiliki akhlaq tawadhu’, setiap muslim harus sering merenungkan nikmat yang Allah berikan kepadanya.

Selain yang telah disebutkan di atas, ada banyak lagi cara untuk menumbuhkan akhlaq tawadhu’, antara lain dengan merenungkan manfaat tawadhu’ dan kerugian sombong, mencontoh akhlaq orang-orang sholeh terdahulu yang tawadhu’, banyak berteman dengan orang-orang yang tawadhu’, dan lain-lain.

Bangsa Indonesia yang saat ini mengalami berbagai krisis sesungguhnya terjadi karena kesombongan pemimpin dan rakyatnya. Fenomena kesombongan, berupa pengagungan kepada diri sendiri, harta, ilmu, keturunan, dan lain-lain terjadi dimana-mana. Orang yang bersikap tawadhu’ sekarang menjadi langka dan malah dikucilkan. Padahal pertolongan dan petunjuk Allah hanya diberikan kepada orang yang tawadhu’, bukan kepada mereka yang sombong.

“aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” (QS. 7 : 146)

wallahu a'lam

Setetes Parfum yang Kau Usapkan Pada Tubuhmu



Parfum dan wanita merupakan bagian yang tak terpisahkan.Saking pentingnya banyak kaum hawa yang tak percaya diri bila tidak memakai benda ini. Sekejap saja kita keluar rumah dijalan, di pasar, di tempat keramaian maka akan dengan mudah hidung kita mencium bau yang semerbak dari wewangian parfum.Berbagai macam merek parfum dijual dari harga di bawah sepuluh ribu rupiah sampai ratusan ribu bahkan ada yang mencapai jutaan.Yang menjadi masalah bukannya merek atau harganya . Sebenarnya boleh nggak sih seorang wanita muslimah keluar dengan memakai parfum?walaupun hanya setetes saja?


Wajib bagi setiap muslimah mengetahui tentang masalah ini agar nantinya bermanfaat bagi diri kita, apakah yang kita lakukan sudah sesuai dengan garis syariat agama kita , sayang kan kalau ternyata hal ini kita anggap enteng (disepelekan)ternyata merupakan suatu kesalahan besar setelah di tinjau dari kacamata islam sehingga anggapan semacam ….ah itukan hanya setetes saja apa salahnya??, atau hanya parfum ini …tidak akan kita dengar lagi ……lalu bagaimana sebenarnya islam memandang masalah wanita yang keluar rumah dengan memakai parfum ??? Ada baiknya kita simak penjelasan berikut ini.

1. Nabi Shalallahu alaihi wassalam bersabda:”Siapa saja perempuan yang memakai harum-haruman (parfum) maka janganlah ia menghadiri shalat isya (dimasjid) bersama kami” {Shahih riwayat Imam Ahmad,Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i dari jalan Abu Hurairah, juga lihat kitab Ash-shahihah hadits no.1094)
2. Dari Abu hurairah : “Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian (parfum) menerpanya.Maka Abu Hurairah berkata:”Wahai hamba Allah! apakah kamu hendak kemasjid?”ia menjawab:”Ya!” Abu Hurairah kemudian berkata lagi:”Pulanglah saja, lalu mandilah! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda:”Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangiannya menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi (baru kemudian shalat kemasjid” {Hadits shahih, dikeluarkan oleh Al-baihaqi (III/133 dan 246) lihat silsilah Hadits Shahihah Syaikh Albani 3/1031)
3. Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda:”Siapa saja perempuan yang memakai minyak wangi kemudian keluar ke masjid niscaya tidak diterima shalatnya sehingga ia mandi dahulu (membersihkan dirinya dari wangi-wangian tersebut) ” {Shahih riwayatb Ibnu Majah dari jalan Abu Hurairah}

Tiga hadits diatas menjelaskan haramnya seorang wanita keluar ke masjid untuk menghadiri shalat isya dengan memakai wewangian.Disebutnya shalat isya disini tidak berarti menghadiri shalat-shalat lainnya diperbolehkan.Tentu saja tidak!!karena pada hadits ketiganya menunjukkan keumuman seluruh macam shalat baik shalat fardhu maupun sunnah (seperti shalat tarawih dan shalat hari raya). Disebut shalat isya pada hadits no. 1 dan 2 karena fitnahnya lebih besar.Kita lihat penjelasan Ibnul Malik mengenai hal ini :”shalat isya itu dikerjakan pada waktu malam hari, dimana kondisi jalanan pada waktu itu sepi dan gelap, sedangkan bau harum itu dapat membangkitkan birahi laki-laki, sehingga kaum wanita tidak bisa aman dari fitnah pada saat-saat seperti itu.Berbeda dengan waktu lainnya seperti Shubuh dan Magrib yang agak terang. Sudah jelas bahwa memakai wewangian itu menghalangi seorang wanita untuk mendatangi masjid secara mutlak”(Jilbab Wanita Muslimah:143-144)’

Apakah benar hanya ke masjid saja yang dilarang??? kalau begitu keluar rumah asalkan kita nggak ke masjid sah-sah saja kita memakai minyak wangi.Pembahasan ini belum lah selesai. Penulis menemukan satu hadits lagi yang patut kita camkan baik-baik karena apabila kita meremehkan bahaya sekali akibatnya .Ingin tahu lebih detail lagi???

Hadits ini diriwayatkan dari jalan Abu Musa Al-Asyari Radhiyallahu anhu dia menceritakan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wassalam telah bersabda:

“Siapa saja perempuan yang memakai minyak wangi, kemudian ia keluar lalu ia melewati suatu kaum (orang banyak) supaya mereka mendapati (mencium )baunya , maka dia itu adalah perempuan zina /tuna susila”(Hadits ini hasan shahih diriwayatkan Imam Ahmad(4/414),Abu Dawud(4173),Tirmidzi(2786),An-Nasa’i(8/153)).

Jadi bagi siapa saja wanita muslimah yang memakai parfum ketika keluar rumah akan terkena ancaman ini. Alasan pelarangannya sudah jelas yaitu bahwa hal itu dapat membangkitkan syahwat kaum laki-laki.Al-Alamah Al-Mubarakafuri Rahimahullah menjelaskan hadits diatas dengan mengatakan:

“Yang demikian itu disebut berzina karena wangi-wangian yang dikenakan wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki dan menarik perhatian mereka. Laki-laki yang melihatnya berarti telah berzina dengan mata dan dengan demikian wanita itu telah melakukan perbuatan dosa “(30 larangan Wanita 30-31).

begitu pula dengan Syaikh Albani beliaupun menyampaikan penjelasan hadits diatas (hadits 1,2,3 dan yang terakhir ) dengan berkata:

“Jika hal itu (memakai wewangian ) saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya??tidak diragukan lagi bahwa hal ini jauh lebih haram dan lebih besar dosanya.AlHaitsami dalam kitabnya Az-Zawajir (2/37) menyebutkan bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai harum-haruman dan berhias adalah termasuk perbuatan dosa besar, meskipun suaminya mengijinkannya.(Jilbab Wanita muslimah 143).

Mungkin akan timbul pertanyaan dalam benak kita, kalau memakai parfum haram hukumnya (ketika keluar rumah) lalu bagaimana mengatasi bau badan kita???tentunya kita akan malu dan tidak percaya diri berdekatan dengan teman-teman di kampus, sekolah, rumah sakit dan sebagainya.Bagaimana ini???ukhti-ukhti jangan khawatir sekarang ini banyak produk yang dijual dipasaran untuk mengatasi masalah tersebut.Dari yang berbentuk bubuk sampai cairpun dijual bebas.Pilihlah yang tidak memakai wewangian (fragarance free),apalagi kalau ukhti rajin minum jamu maka tidaklah sulit untuk mengatasi masalah “bau badan ini” dengan rajin mandi, minum jamu dan memakai produk khusus untuk mengatasi “bau badan” maka insya Allah kita akan terhindar dari bau yang tidak menyenangkan itu.Sehingga kita tidak akan bergantung lagi dengan parfum , bila ukhti dirumah maka islam tidak melarang seorang wanita muslimah memakainya, kita bebas memakainya asalkan kita yakin parfum itu tidak akan tercium oleh laki-laki yang bukan mahram kita.jadi kita nggak mau kan terjerumus dalam kesalahan fatal (dosa) hanya gara-gara dari setetes parfum yang kita pakai ketika keluar rumah.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita , sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.amin.

Daftar Pustaka:

1. Jilbab Wanita Muslimah,Syaikh Albani,Pustaka Tibyan, 2000M
2. 30 Larangan Wanita,Amr bin Abdul Mun’im,Pustaka Azzam,2000M
3. Al-Masail, jilid 2, Abdul Hakim bin Amir Abdat,Darul Qalam,2003M

9.02.2008

J I H A D ANTARA DEFINISI SYAR’I DAN USAHA DISTORSI



Bila disebutkan kata jihad fi sabilillah maka maknanya adalah berperang melawan orang-orang kafir untuk menegakkan kalimatulloh. Inilah definisi yang disebutkan oleh para ulama salaf, berdasar ayat-ayat dan sunah-sunah Rasulullah.

Namun inilah salah satu Ibadah yang berusaha di kaburkan oleh orang-orang kafir. Mereka mengganti kata Jihad dengan nama-nama yang buruk seeprti TERORRIST, Fundamentalis, Extrimis Dll. Inilah yang selalu mereka gembar-gemborkan, bahkan banyak dikalangan umat islam sendiri dan negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim juga ikut memerangi JIHAD.


I. DEFINISI SECARA BAHASA
Kata jahada–yajhadu-al juhdu wa al jahdu جهد-يجهد-الجهد-الحهد) ) mempunyai lebih dari 20 makna, semuanya berkisar pada makna kemampuan (الطاقة ) , kesulitan (المشقة ) , keluasan (الوسع) (kemampuan dan kesempatan), (القتال) perang dan ( (المبالغة bersungguh-sungguh. Karena itu para ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih dan ahli bahasa selalu mengartikan jihad secara bahasa dengan makna mencurahkan segenap kemampuan atau (bersungguh-sungguh menundukkan) kesulitan. [1]
Syaikh Musthofa al Suyuthi berkata,” Al jihadu merupakan mashdar dari kata jaahada-jihaadan wa mujaahadatan maknanya bersunggh-sungguh (mencurahkan kemampuan) dalam memerangi musuh.”[2]
Kata jahada-juhdun dan jahdun sudah mempunyai makna mubalaghah (bersungguh-sungguh). Apalagi kata jihad yang berasal dari kata jaahada dengan sighah mubalaghah, tentulah maknanya bersungguh-sungguh kuadrat. Ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak saling mengerahkan kemampuan maksimalnya untuk mengalahkan lawannya..[3] Itulah sebabnya para pakar bahasa menyebutkan makna jihad secara bahasa adalah :

بَذْلُ أَقْصَي مَا يَسْتَطِيْعُهُ اْلإِنْسَانُ مِنْ طَاقَةٍ لِنَيْلِ مَحْبُوْبٍ أَوْ لِدَفْعِ مَكْرُوْهٍ.
“Mengerahkan seluruh kemampuan untuk mendapatkan kebaikan dan menolak bahaya” [4]. Atau :

اَلْمَشَقَّةُ بِبَذْلِ أَقْصَى مَا فِيْ الطَّاقَةِ وَالْوُسْعِ
“ Menanggung kesulitan dengan mengerahkan segala kemampuan”.[5]
II. DEFINISI SECARA SYAR’I.
Bila disebutkan kata jihad fi sabilillah maka maknanya adalah berperang melawan orang-orang kafir untuk menegakkan kalimatulloh. Inilah definisi yang disebutkan oleh para ulama salaf, berdasar ayat-ayat dan sunah-sunah Rasulullah. Begitulah fatwa Rasulullah ketika ditanya oleh seorang shahabat tentang makna jihad :

عَنْ عَمْرُو بْنُ عَبَسَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا اْلإِسْلاَمُ ؟ قَالَ أَنْ يَسْلِمُ قَلْبُكَ وَأَنْ يَسْلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِكَ وَيَدِكَ قَالَ فَأَيُّ اْلإِسْلاَمِ أَفْضَلُ؟قَالَ: اَلإِْ يْمَانُ قَالَ :وَمَااْلإِ يْمَانُ؟ قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ قَالَ فَأَيُّ اْلإِيْمَانِ أَفْضَلُ؟ قَالَ اَلْهِجْرَةُ قَالَ وَمَا الْهِجْرَةُ؟ قَالَ أَن ْتَهْجَرَ السُّوْءَ قَالَ فَأَيُّ الْهِجْرَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ اَلْجِهَادُ قَالَ وَمَا الْجِهَادُ؟ قَالَ أَنْ تُقَاتِلَ الْكُفَّارَ إِذَا لَقِيْتَهُمْ قَالَ فَأَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ؟ قَالَ مَنْ عَقَرَ جَوَادَهُ وَأُهْرِيْقَ دَمُهُ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثُمَّ عَمَلاَنِ هُمَا أَفْضَلُ اْلأَ عْمَالِ إِلاَّ مَنْ عَمِلَ بِمِثْلِهَا: حَجَّةٌ مَبْرُوْرَةٌ أَوْعُمْرَةٌ.

Dari Amru bin Abasah ra. beliau berkata,” Ada orang bertanya kepada Rosululloh,”Wahai Rosululloh, apakah Islam itu ?” Beliau menjawab,” Hatimu merasa aman, dan juga orang-orang muslim merasa aman dari gangguan lidah dan tanganmu.” Orang tersebut bertanya,”Lalu Islam bagaimanakah yang paling utama?’ Beliau menjawab,”Iman.” Orang tersebut bertanya lagi,” Apakah iman itu?” Beliau menjawab,” Kamu beriman kepada Alloh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rosul-rosul-Nya dan kebangkitan setelah mati.” Orang tersebut bertanya lagi,”Lalu iman bagaimanakah yang paling utama itu?” Beliau menjawab,”‘Hijroh.” Orang tersebut bertanya lagi,” Apakah hijroh itu?” Beliau menjawab,”Engkau meninggalkan amalan jelek.” Orang tersebut bertanya lagi,”Lalu hijroh bagaimanakah yang paling utama itu?” Beliau menjawab,” Jihad.” Orang tersebut bertanya lagi,”Apakah jihad itu?” Beliau menjawab,” Engkau memerangi orang kafir jika kamu bertemu mereka.” Orang tersebut bertanya lagi,” Lalu bagaimanakah jihad yang paling utama itu?” Beliau menjawab,” Siapa saja yang terluka kudanya dan tertumpah darahnya”, Rosulullah Shollallahu ‘Alahi wasallam berkata: kemudian dua amalan yang merupakan amalan yang paling utama kecuali barang siapa yang bisa beramal yang menyerupainya ; haji mabrur dan ‘umroh.[6]

Bahkan syaithan pun paham bahwa jihad itu maknanya perang di jalan Allah demi meninggikan kalimat Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits :

عَنْ سِبْرَةَ بْنُ أَبِيْ فَاكِهَةِ: إِنَّ الشَّيْطَانَ قَعَدَ ِلاِبْنِ أَدَمَ بِأَطْرَقِهِ فَقَعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ اْلإِسْلاَمِ فَقَالَ لَهُ تُسْلِمُ وَ تَذَرُ دِيْنَكَ وَ دِيْنَ أَبَائِكَ وَ أَبَاءِ أَبِيْكَ ؟قاَلَ: فَعَصَاهُ فَأَسْلَمَ ثُمَّ قَعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ اْلِهجْرَةِ فَقَالَ لَهُ:تُهَاجِرُ وتَدَع ُأَرْضَكَ وَسَمَاءِكَ وَإِنَّمَامَثَلُ اْلمُهَاجِرِ كَمَثَلِ الْفَرَسِ فِيْ الطِّوَلِ فَقَالَ فَعَصَاهُ فَهَاجر.قَالَ ثُمَّ قَعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ الْجِهَادِ فَقَالَ لَهُ: هُوَ جُهْدُ النَّفْسِ وَالْمَالِ فَتَقَاتَلَ فَتُقْتَلُ فَتُنْكَحُ الْمَرْأَةُ وَ يُقَسَّمُ الْمَالُ ؟ فَعَصَاهُ فَجَاهَدَ.فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ كاَنَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ.أَوْ قُتِلَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ, وَ إِنْ غَرَقَ كَانَ حَقًّاعَلَى اللهِ حَقًّا أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ أَوْ وَقَصَتْهُ دَابَّتُهُ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخلَِهُ الْجَنَّةَ.

Dari Sibrah bin Abi Fakihah bahwasanya Rasulullah bersabda,” Sesungguhnya setan menghadang manusia di setiap jalan kebaikan. Ia menghadang manusia di jalan Islam,” Apakah kau mau masuk Islam dan meninggalkan agamamu, agama bapakmu dan agama moyangmu ?” Ia tidak menururti setan dan masuk Islam.Maka setan menghadangnya di jalan hijrah,” Kau mau hijrah, meninggalkan tanah air dan langit yang menanungimu ?Ia tidak menururti setan dan berhijrah maka setan menghadangnya di jalan jihad,” Kau mau berjihad, sehingga terbunuh dan istrimu diambil orang serta hartamu dibagi-bagi ?” Ia tidak menururti setan dan tetap berjihad. Siapa saja melakukan hal, itu maka sudah menjadi kewajiban Allah untuk memasukkannya ke surga. Dan siapa saja terbunuh maka sudah menjadi kewajiban Allah untuk memasukkannya ke surga. Dan siapa saja tenggelam (karena jihad atau hijrah—pent) maka sudah menjadi kewajiban Allah untuk memasukkannya ke surga. Dan siapa saja terlempar dari kendaraannya (saat hijrah atau jihad) maka sudah menjadi kewajiban Allah untuk memasukkannya ke surga.” [7]

Dalam kesempatan yang lain Roslulloh bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمّ فَقَال َدُلَّنِي4ْ عَلَى عَمَلٍ يَعْدِلُ الْجِهَادَ قَالَ لَا أَجِدُهُ قَالَ هَلْ تَسْتَطِيْعُ إِذَا خَرَجَ الْمُجَاهِدُ أَنْ تَدْخُلَ مَسْجِدَكَ فَتَقُوْمَ وَلَا تُفْتِرَ وَتَصُوْمَ وَلَا تُفْطِرَ قَالَ وَمَنْ يَسْتَطِيْعُ ذَلِكَ. قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ إِنَّ فَرَسَ الْمُجَاهِدِ لَيَسْتُنَّ فِيْ طِوَلِهِ فَيُكْتَبُ لَهُ حَسَنَاتٍ.

Dari Abu Huroiroh ra. Beliau berkata,“ Datang seseorang kepada Rosululloh saw. Lalu berkata,”Tunjukkan padaku sebuah amalan yang bisa menyamai jihad !!” Beliau menjawab,”Aku tidak mendapatkannya. Apakah kamu mampu apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk masjid lalu sholat dan tidak berhenti dan kamu shaum dan tidak berbuka?” Orang tersebut berkata,” Siapa yang mampu melakukan hal tersebut???” Abu Huroiroh berkata,” Sesungguhnya bermainnya kuda seorang mujahid itu dicatat sebagai beberapa kebaikan.” [8]

Keterangan : Puasa dan sholat adalah bagian dari jihadun nafs, namun demikian Rosululloh mengatakan,” Aku tidak mendapatkan amalan yang bisa menyamai jihad.” Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan jihad kalau berdiri sendiri adalah perang melawan orang-orang kafir, bukan mujahadatun nafs, bukan dakwah, bukan thalabul ilmi, bukan membangun sekolah dan pondok pesantren dan amal-amal sholih lainnya.

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ النَّاِس أَفْضَلُ ؟ فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلي الله عليه وسلم مُؤْمِنٌ مُجَاهِدٌ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ. قَالُوْا ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ مُؤْمِنٌ فِيْ شِعْبٍ مِنَ الشِّعَابِ يَتَّقِي اللهِ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. ia berkata,” Dikatakan kepada Rosululloh saw..” Wahai Rosululloh, orang bagaimanakah yang paling utama ?” Rosululloh saw. Menjawab,” Orang mukmin yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya.” Mereka bertanya lagi,” Kemudian siapa?” Beliau menjawab,” Seorang mukmin yang (menyendiri) berada dalam suatu lembah, takut kepada Alloh dan meninggalkan manusia karena kejahatan mereka .”[9] Keterangan : Orang mukmin yang menyendiri di tempat sepi seperti suatu lembah, gunung, daerah pedalaman dll, sambil bertaqwa kepada Alloh, melakukan sholat, tekun beribadah kepada Allah disebut sebagai mu’tazil (orang yang beruzlah). Pekerjaannya disebut uzlah. Jelas sekali uzlah dengan seluruh bentuk ibadah di dalamnya termasuk berjihad melawan hawa nafsunya, namun Rasulullah tidak menyebutnya sebagai seorang mujahid (orang yang berjihad) dan uzlahnya juga tidak beliau sebut sebagai jihad. Beliau menyebutkan orang yang berjihad dengan jiwa dan raganya di jalan Alloh, itulah mujahid sesungguhnya. Hal ini menunjukkan bahwa kata jihad apabila berdiri sendiri artinya adalah perang melawan orang-orang kafir.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَبِرَسُوْلِهِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ جَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَوْ جَلَسَ فِيْ أَرْضِهِ اَلَّذِيْ وُلِدَ فِيْهَا فَقَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ إِنَّ فِيْ اْلجَنَّةِ مِائَةُ دَرَجَةً أَعَدَّهَا اللهُ لِلْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ مَا بَيْنَ دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ .

Dari Abu Huroiroh ra. bahwasanya Rosululloh bersabda,” Barangsiapa beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya, menegakkan sholat dan menunaikan shaum Romadhon, maka Alloh pasti akan memasukkannya ke dalam syurga, baik dia berjihad di jalan Alloh maupun duduk di daerah ia dilahirkan.” Para shahabat berkata,” Bagaimana kalau hal ini kami kabarkan kepada orang-orang?” Beliau menjawab,” (jangan!!!-pent) Sesungguhnya di syurga ada seratus tingkatan yang disiapkan untuk para mujahidin di jalan Alloh. Jarak antara dua tingkatan sebagaimana jarak antara langit dan bumi.”[10]
Keterangan: Rosululloh menamakan orang-orang yang duduk ditempat tinggalnya tidak ikut berperang di jalan Allah bukan mujahid sekalipun ia shalat, zakat, haji, shaum, berdakwah dan mengerjakan amal-amal sholih lainnya, padahal itu semua termasuk jihad melawan hawa nafsu. Dari sini jelas, jihad maknanya adalah berperang, bukan dakwah, atau amal sholih lainnya.

Setiap hadits yang menerangkan fadlilah jihad maka yang dimaksud adalah jihad yang sebenarnya yaitu perang melawan orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimatulloh dan tidak dibawa kepada pengertian-pengertian lain baik thalabul ilmi, dakwah, mendirikan pondok pesantren dan madrasah membangun jembatan, menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim dan amal sholih lainnya.
Pendapat ulama salaf dalam hal ini :

Madzhab Hanafi:
1. Imam Ibnul Humam berkata,” Jihad adalah mendakwahi orang kafir kepada agama yang benar dan memerangi mereka kalau tidak mau menerima. [Hasyiyah Ibnu abidin 4/121, lihat Fathul Qodir 5/436].[11]
2. Imam Al-Kasani berkata,” Mengerahkan segala kemampuan dengan berperang di jalan Alloh dengan nyawa, harta dan lisan atau lain-lain atau melebihkan (begitu mencurahkan kemampuan) dalam hal itu.”[12]

Madzhab Maliki:
Imam Ibnu Arafah berkata,” Perangnya orang Islam melawan orang kafir yang tidak terikat perjanjian untuk meninggikan kalimatulloh, atau karena ia mendatanginya, atau karena ia memasuki daerahnya[13]
Ibnu Rusyd berkata,” Setiap orang yang berpayah-payah karena Allah berarti telah berjihad di jalan Allah. Namun sesungguhnya jihad fi sabilillah kalau berdiri sendiri maka tidak ada maksud lain selain memerangi orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah dalam keadaan hina.”[14]

Madzhab Syafi’i:
Imam Al-Bajuri berkata,” Jihad artinya adalah berperang di jalan Alloh.” (Hasyiyatu Al-Bajuri ‘Ala Ibni Al Qosim 2/261].[15]
Imam Ibnu Hajar berkata,” Dan secara syar’i adalah mengerahkan tenaga dalam memerangi orang kafir.” [Fathu al Bari 6/3].
Imam al Qasthalani berkata,” Memerangi orang kafir untuk memenangkan Islam dan meninggikan kalimat Allah.”

Madzhab Hambali:
“Secara syar’i adalah memerangi orang-orang kafir.”[16]
“Jihad adalah perang dengan mengerahkan segala kemampuan untuk meninggikan kalimatulloh.[17]
Imam Al Ba’ly berkata,” Jihad secara syar’i adalah ungkapan khusus untuk memerangi orang-orang kafir.[18]
Pendapat ulama salaf ini ditegaskan kembali oleh para ulama kontemporer:
Dr. Abdulloh Azzam berkata,” Empat imam madzhab bersepakat bahwasanya jihad adalah perang dan tolong-menolong di dalamnya. Kesimpulannya: 1) Kata ”jihad” kalau berdiri sendiri maka artinya adalah perang dan kata “fii sabiilillah” apabila berdiri sendiri artinya adalah jihad.[19] Beliau juga berkata,” Kata jihad jika disebutkan secara sendirian (tanpa qarinah—pent) maka maknanya adalah perang dengan senjata, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd dan disepakati empat imam madzhab. [20]
Syaikh Abdul Baqi Abdul Qadir Ramdhun berkata,” Jihad secara istilah. Ketika disebutkan kata jihad fi sabilillah maka maknanya adalah memerangi orang-orang kafir, menyiapkan diri untuk hal itu dan beramal di jalan hal itu.” [21]
DR. Abdullah Ahmad Qadiri berkata,” Adapun pengertian jihad secara syar’i, menurut mayoritas ulama fiqih berkisar dalam arti orang Islam memerangi orang kafir.”[22]
Syaikh Abdul Akhir Hammad al Ghunaimi berkata,” Adapun dalam istilah syar’i maka maknanya adalah memerangi orang-orang kafir demi meninggikan kalimat Allah.” [23]
DR. Ali Nufai’ al Ulyani berkata,” Adapun definisi jihad menurut syar’i adalah memerangi orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah dan saling membantu dalam hal itu.”[24]

Syaikh Salman Fahd Audah berkata,” Jihad melawan orang kafir. Yaitu dengan memerangi mereka dan dengan mengerahkan segala hal yang dibutuhkan dalam peperangan ini baik harta, pengalaman dan lain-lain. Sebagaiman disebutkan dalam hadits Anas,”Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, nyawa dan lisan kalian.” Bila disebut kata jihad fi sabilillah maka maknanya adalah jihad dengan makna ini(perang melawan orang kafir),sebagaimana diungkapkan imam Ibnu Rusyd, (beliau menyebutkan perkataan Ibnu Rusyd).” [25]
Begitu juga dengan para ulama lainnya, seperti Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz dalam risalah beliau “Jihad dan keutamaannya”[26]..
Dan kadang-kadang kata jihad digunakan juga untuk jihadun nafs, jihadusy syaithon dan jihad-jihad yang lain. Diantaranya adalah:

وَجَاهِدُوْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيْرًا

“Dan jihadilah mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan jihad yang besar.” (QS.Al-Furqon: 52)

أََيُ اْلِجهَادِ أَفْضَلٌ ؟ فَقَالَ : كَلِمَةُ حَقٍ عِنْدَ سُلْطاَنٍ جَائِرٍ.

“Jihad apa yang paling utama?” Beliau menjawab,” Berkata benar di hadapan pemerintah yang dholim.“[27]

عَنْ بْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : مَا مِنْ نَبِيٍ بَعَثَهُ اللهُ فِيْ أُمَّةٍ قَبْلِيْ إِلَّا كَانَ لَهُ مِنُ أُمَّتِهِ حَوَارِيُوْنَ وَأَصْحَابُ يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَ يَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تُخَلِفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خٌلٌوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَا لَا يَفْعَلُوْنَ وَ يَفْعَلُوْنَ مَا لَا يُؤْمِرُوْنَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بُقَلِبُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَ لَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ اْلِايْمَانِ حُبَّةٌ خَرْدَلٍ

Dari Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tak seorang nabi pun yang diutus sebelumku kecuali ia mempunyai shahabat– shahabat dan penolong-penolong yang setia. Mereka mengikuti sunnah-sunnahnya dan meengerjakan apa yang diperrintahkannya. Kemudian datang setelah mereka kaum yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia adalah mukmin dan barang siapa berjihad dengan lisannya dia adalah mukmin dan siapa yang berjihad dengan hatinya maka dia mukmin. Setelah itu tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi. “ [28]

اَلْجِهَادُ أَرْبَعٌ الَأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ اْلمُنْكَرِ وَ الصِّدْقُ فِى مَوَاطِنِ الصَّبْرِ وَ شَنَانِ الفَاسِقِ

“Jihad itu ada empat: amar makruf, nahi munkar, berlaku benar pada tempat yang menuntut kesabaran dan membenci orang-orang fasik.” Akan tetapi jika kata jihad diungkakan secara mutlak (secara lepas) maka artinya adalah perangmelawan orang-orang kafir untuk menegakkan kalimatulloh sebagai mana diatas. Sebagai mana yang dikatakan Imam Ibnu Hajar berkata,” Secara syar’i adalah mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir, dan kadang-kadang digunakan untuk makna berjihad melawan hawa nafsu dan setan.” [Fathu al Bari 6/5]. Imam Ibnu Rusydi berkata,” Jihadus saif adalah memerangi orang-orang musyrik karena agama. Setiap orang yang berpayah-payah karena Alloh maka ia telah berjihad di jalan Alloh, akan tetapi sesungguhnya kalimat jihad fii sabilillah apabila berdiri sendiri (mutlaq) maka tidak ada arti lain kecuali jihad melawan orang-orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah dengan rendah diri. Abdul Akhir Hammad berkata:”Dan perkataan yang kami nukil ini kami tidak dapatkan seorangpun yang menyelisihinya dan begitu pula nas-nas syar’I tidaklah memberikan pengertian kecuali sebagaimanan yang kami sebutkan ini.”[29] Dalam kesempatan yang lain beliau berkata:” Yang benar, memang jihad dalam Islam mencakup jihad melawan syetan, hawa nafsu dan godaan dunia. Akan tetapi yang paling tinggi adalah memerangi musuh-musuh Allah dengan pedang dan tombak dan inilah puncak ketinggian Islam dan ini pulalah yang dimaksud dengan jihad kalau diungkapkan secara mutlak (berdiri sendiri)”.[30] Jadi segala bentuk jihad, baik jihad melawan hawa nafsu, syetan atau godaan dunia disyari’atkan dalam Islam bahkan segala bentuk jerih payah dalam rangka beribadah kepada Alloh adalah jihad fii sabilillah. Namun semua bentuk dan macam jihad tesebut bukanlah yang dimaksud pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan jihad secara mutlak (berdiri sendiri) baik hukum-hukum yang berlaku padanya maupun keutamaan-keutamaannya.

Demikian juga halnya dengan Ibnu Qayyim, beliau berkata,”…Kemudian diwajibkan atas kaum muslimin secara menyeluruh untuk memerangi semua orang musyrik secara menyeluruh. Yang mana sebelumnya hal ini dilarang lalu diizinkan, lalu diperintahkan untuk melawan orang-orang yang memulai perang lalu diperintahkan untuk memerangi seluruh orang musyrik, hukum perintah terakhir ini ada yang mengatakan farhdu ‘ain namun yang masyhur adalah fardhu kifayah. Yang benar, pekerjaan jihad secara umum adalah fardhu ‘ain baik dengan hati, lisan, harta atau tangan. Semua orang Islam harus berjihad dengan berbagai bentuk jihad tersebut, adapun jihad dengan nyawa adalah fardhu kifayah sedangkan jihad dengan harta ada yang mewajibkan dan ada yang tidak. Yang benar adalah wajib juga.” [31]

Ustadz Hasan Al-Banna berkata,” Yang saya maksud dengan jihad adalah sebuah kewajiban yang hukumnya tetap hingga hari kiamat. Ini merupakan kandungan dari apa yang disabdakan Rosululloh saw. :

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يَنْوِ الْغَزْوَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

”Barangsiapa mati, sedangkan ia belum pernah berperang atau berniat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.”[32]

Peringkat pertama jihad adalah pengingkaran dengan hati dan peringkat terakhir adalah berperang di jalan Alloh. Di antara keduanya terdapat jihad dengan pena, tangan dan lesan berupa kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zlolim. Tidaklah dakwah menjadi hidup kecuali dengan jihad. Kadar ketinggian dakwah dan keluasan bentangan ufuknya adalah penentu bagi sejauh mana keagungan jihad di jalan-Nya dan sejauh mana pula harga yang harus ditebus untuk mendukungnya. Sedangkan keagungan pahalanya diberikan kepada mujahid.

وَجَاهِدُوْا فِيْ اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ

“ Dan berjihadlah di jalan Alloh dengan sebenar-benar jihad” ( Surat alhajj : 7 .

Dengan demikian engkau telah mengerti slogan abadimu:”Jihad adalah jalan kami.”
Syaikh Said Hawa menerangkan perkataan beliau di atas dengan berkata,“ Kami sebutkan dalam kitab jundulloh tsaqofatan wa akhlaqon bahwa jihad itu ada lima macam yaitu; jihad dengan tangan, jihad dengan lisan, jihad dengan harta, jihad dengan politik.” Lebih lanjut beliau berkata,”Jika jihad disebutkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah jihad dengan tangan.” [33]

III. DISTORSI MAKNA JIHAD :
Saat ini, faridzah jihad merupakan faridzah yang paling banyak mendapat serangan baik dari orang-orang kafir maupun dari orang-orang Islam sendiri, baik kalangan pengikut orientalis bahkan juga sebagian ulama yang mukhlish –tanpa mereka sadari ikut menikam jihad –. Serangan-serangan ini hadir lewat berbagai pemahaman yang mereka sebarkan yang bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunah, ijma’ salaful umah dan realita kehidupan umat Islam zaman keemasan mereka. Di antara sebagian pemahaman yang melenceng dalam memahami makna jihad ini adalah :
A. Makna Jihad Secara Syar’i Bukan Perang
Ada sebagian orang saat ini yang mulai mengutak-atik makna jihad ini. Mereka memandang memaknai jihad dengan kata perang melawan orang-orang kafir merupakan pengertian yang picik, sempit dan justru semakin memojokkan Islam yang selalu dituduh pihak orientalis sebagai agama yang tesebar dengan pedang dan kekerasan, agama teroris dan sebagainya. Untuk itu, mereka mencari-cari dalil dari Al Qur’an dan As sunah, kiranya memperkuat pendapat mereka yang “moderat” tersebut. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah :
Firman Alloh :
وَجَاهِدُوْا فِى الله حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan berjihadlah untuk Alloh dengan sebenar-benar jihad.”(QS. Al-Hajj: 78).
وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيْرًا
“Dan jihadilah mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan jihad yang besar.” (QS.Al-Furqon: 52)
وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
“Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Alloh.”
جَاهِدُوْا اْلمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَ أَلْسِنَتِكُمْ
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lidah kalian.” (Hadits shohih, HR. Abu Dawud no. 2504, An-Nasa’i 7/7 dan 51, Ahmad 3/124,153,251, Ad Darimi 2/132 no. 2436, Al Baghawi no.3410).
أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ : كَلِمَةُ حَقٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
“Jihad apa yang paling utama?” Beliau menjawab,” Berkata benar di hadapan pemerintah yang dholim.“ (HR Ahmad, Nasa’i 7/61, dihasankan Al Mundziri dalam At Targhiib wa at Tarhib 3/168].
عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ رَسُوْلَ الله قَالَ : مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثُهُ الله فِي أُمَّةٍ قَبْلِيْ إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَ يَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ ُثمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ وَ يَفْعَلُوْنَ مَا لاَ يُؤْمَرُوْنَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَ لَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ اْلاِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ.
Dari Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tak seorang nabi pun yang diutus sebelumku kecuali ia mempunyai shahabat– shahabat dan penolong-penolong yang setia. Mereka mengikuti sunnah-sunnahnya dan meengerjakan apa yang diperrintahkannya. Kemudian datang setelah mereka kaum yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia adalah mukmin dan barang siapa berjihad dengan lisannya dia adalah mukmin dan siapa yang berjihad dengan hatinya maka dia mukmin. Setelah itu tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi. “ [H R . Muslim Bab Iman, no. 50].
اَلْجِهَادُ أَرْبَعٌ الَأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ اْلمُنْكَرِ وَ الصِّدْقُ فِى مَوَاطِنِ الصَّبْرِ وَ شَنَانِ الفَاسِقِ
“Jihad itu ada empat: amar makruf, nahi munkar, berlaku benar pada tempat yang menuntut kesabaran dan membenci orang-orang fasik.”(HR. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, hasan].
Di antara para ulama yang mempunyai pemahaman ini adalah DR. Yusuf Qardhawi [dalam buku beliau Fiqhu az Zakat] Di sini hanya akan kita sebutkan pendapat Dr. Yusuf Qardhawi saja karena pendapat beliau sudah mewakili pendapat para ualama yang sependapat dengan beliau dalam hal ini. Alasan lain karena beliau termasuk ulama kontemporer yang kredibilitas keilmuan beliau diakui dan menjadi tempat rujukan umat Islam. Dr. Yusuf Qardhawi berkata,” Oleh karena itu saya condong untuk tidak memperluas cakupan fi sabilillah dengan mencakup seluruh perbuatan baik dan bermanfaat, sebagaimana saya juga tidak mempersempit cakupannya sehingga tidak terbatas kepada jihad yang berarti peperangan secara militer saja. Kadang-kadang jihad itu menggunakan pena dan lisan sebagaimana juga menggunakan pedang dan tombak. Kadang-kadang jihad berbentuk pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi atau politik sebagaimana kadang berupa militer[34]…Sesungguhnya berbagai macam bentuk jihad dan aktivitas keislaman yang kami sebutkan diatas walaupun tidak termasuk makna jihad dalam nash maka wajib memasukkannya ke dalam makna jihad dengan cara qiyas, karena keduanya adalah amalan yang bertujuan untuk menolong din Allah, membelanya dan melawan musuh – musuhnya serta menegakkan kalimatullah di muka bumi.[35]
Beliau juga berkata,” Sesungguhnya yang terpenting dan pertama kali dianggap fi sabililillah saat ini adalah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memulai kehidupan Islami dan benar, diterapkan di dalamnya seluruh hukum Islam baik itu aqidah, pemahaman, syiar-syiar, akhlaq dan adat istiadat / budaya. Adapun yang kami maksud dengan bekerja secara sungguh-sungguh adalah bekerja bersama-sama yang terorganisir dan terarah untuk mewujudkan hukum Islam, menegakkan daulah Islam dan mengembalikan khilafah Islamiyyah, umat dan peradabannya.” [36]
Beliau lebih memperjelas pendapat ini,” Sesungguhnya mendirikan pusat-pusat dakwah, untuk menyeru kepada agama Islam yang benar, menyampaikan risalahnya kepada selain kaum muslimin di seluruh benua di dunia ini yang mana berbagai agama dan aliran saling bertarung adalah jihad fi sabilillah. [37]
Jawaban Atas Berbagai Dalil di Atas :
Definisi jihad menurut bahasa sangat umum sehingga apapun usaha seseorang dengan motivasi baik maupun buruk jika ada unsur mengerahkan kemampuan bisa tergolong jihad—menurut bahasa. Namun, Islam telah meletakkan kata jihad dengan pengertian syar’i. Ratusan kata jihad tersebar di dalam Al Qur’an dan As Sunah. Pelaksanaan dan hukum-hukum jihad sendiri juga telah diatur syariat dengan sempurna. Para ulama ushul fiqih telah menetapkan kaidah,” Makna syar’i lebih diutamakan berdasarkan pengertian syara’, daripada pengertian bahasa maupun ‘urf.” [38]
Telah kita sebutkan di atas dasar-dasar dari Al Qur’an, As sunah dan pendapat para ulama salaf yang menyimpulkan makna syar’i dari kata jihad adalah perang melawan orang-orang kafir. Ini makna asasi dan pokok dari kata jihad. Meski demikian ada makna lain dari kata jihad ini seperti jihad melawan hawa nafsu, jihad dengan lisan, harta dan makna sekunder lainnya. Namun jihad tidak bisa dimaknakan dengan makna-makna sekunder ini, kecuali bila ada qarinah (dalil/hal lain) yang menyebabkan jihad tidak bisa dipakai dengan makna pokoknya.[39] Imam Ibnu Hajar berkata,” Secara syar’i adalah mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir, dan kadang-kadang digunakan untuk makna berjihad melawan hawa nafsu dan setan.”[40]. Imam Ibnu Rusydi berkata,” Jihadus saif adalah memerangi orang-orang musyrik karena agama. Setiap orang yang berpayah-payah karena Alloh maka ia telah berjihad di jalan Alloh, akan tetapi sesungguhnya kalimat jihad fii sabilillah apabila berdiri sendiri (mutlaq) maka tidak ada arti lain kecuali jihad melawan orang-orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah dengan rendah diri.” [Al Muqoddimatu al Mumahidatu li Bayani Ma Iqtadhthu Rusunu al Mudawwanah mi Al Ahkam al Syar’iyah 1/269].[41] Karena itu, bila sebagian besar umat Islam memahami jihad itu perang, itu sudah betul, sesuai dengan syariat dan bukan merupakan pandangan yang picik dan sempit. Adapun tuduhan orang-orang orientalis dan orang-orang kafir lainnya, memang itulah pekerjaan mereka mencari-cari celah untuk menyerang Islam. Menuduh memaknai jihad dengan perang sebagai sebab adanya tuduhan orientalis kepada Islam sebagai dien teroris dll merupakan tindakan yang tidak pada tempatnya dan tak lebih dari upaya mencari kambing hitam. Tanpa inipun, mereka akan tetap menyerang Islam dengan tuduhan-tuduhan miring. Sedangkan perkataan DR. Yusuf Qardhawi yang mendasarkan pada qiyas, maka pernyataan beliau ini tertolak karena tidak ada qiyas kalau sudah ada nash.
Bila dikatakan makna jihad secara syar’i adalah perang, bukan artinya kita melalaikan dan mengecilkan peran penting jihad dengan arti sekunder lainnya. Tetap kita mengakui arti penting dakwah, tarbiyah, pembinaan aqidah, pembangunan pondok pesantren dan madrasah sebagai upaya pembangunan kader da’i, pembangunan jaringan ekonomi Islam dan usaha-usaha sholih lainnya. Itu semua penting, sangat penting dan jihad tak akan mungkin terlaksana tanpa adanya dukungan semua usaha tadi. Kaum muslimin hari ini, baik ulama maupun masyarakat tetap menyadari hal ini, dan itu satu hal yang patut kita syukuri dan kita tingkatkan lagi. Adapun adanya mayoritas masyarakat umat Islam yang memahami jihad sebagai jihad dan tidak menamai aktifitas keislaman lain dengan kata jihad, maka itu sudah betul, sudah di atas rel yang lurus dan bukan hal yang berbahaya. Meluruskannya justru akan membengkokkan pemahaman yang telah benar. Kalau semua disebut jihad maka umat akan dibuat bingung membedakan mana yang bukan jihad. Sebagai contoh, seorang petani ke sawah mengatakan saya berjihad, pedagang ke pasar berkata saya berjihad, ustadz ngajar di pondok mengatakan saya berjihad, dan seterusnya, lantas mana yang tidak jihad??? Jangan-jangan, yang jihad betulan (mengangkat senjata) malah disebut teroris dst. Para ulama sendiri menyebut jihad sebagai dakwah, bukannya menyebut dakwah sebagai jihad. Sebagai contoh Imam Al Kasani mengatakan,”Dakwah ada dua: Dakwah dnegan senjata yaitu perang dan dakwah dengan lisan yaitu tabligh.” [Badai-u al Shanai’ 9/4304][42] Di sini, bukannya menyebut dakwah dengan jihad, justru beliau menyebut jihad dengan dakwah. Walahu A’lam bish Shawab.
Jadi, yang salah bukan mendefinisikan dan memahami kata jihad bermakna perang, namun yang salah dan tidak tepat adalah melalaikan atau mengecilkan sebagian macam-macam bentuk jihad (jihad dengan makna sekunder). Termasuk hal yang salah adalah salah menerangkan makna bentuk jihad yang paling afdhal (utama). Dari sini, bisa kita pahami — sebagai jawaban atas orang-orang yang mengatakan jihad maknanya perang merupakan pendapat yang picik dan salah — hal-hal berikut :
Memang benar ayat-ayat tadi menerangkan keutamaan dan arti penting jihad da’awy (lewat dakwah) dan menyebutnya sebagai jihadan kabiran (jihad yang besar), namun makna ayat tadi tak lebih dari pengertian ini, maksudnya bukan berarti dakwah itu jihad yang paling utama. Kalaupun kita menerima pendapat yang mengatakan dakwah itu jihad yang paling agung dan utama, itupun tidak menjadi masalah karena ayat ini turun di Makkah sedang para ulama dan umat Islam telah sepakat perintah jihad belum diturunkan di Makkah, saat itu perintah perang melawan orang muyrik belum ada. Bahkan, saat perjanjian Aqabah keduapun —menjelang hijrah beliau ke Madinah— ketika shahabat Anshar meminta izin menyerang penduduk kafir Mina esok harinya, beliau berkata,”Kita belum diperintahkan untuk itu.” Yang diperintahkan saat itu adalah jihad dakwah, tentu saja hal ini menjadikannya amal paling utama saat itu. Adapun mengartikan jihad adalah perang melawan orang kafir merupakan jihad paling utama, maka ini semua berangkat dari ayat niha’i dari ayat jihad yang turun tahun 9 H. Islam telah sempurna, dan hukum yang wajib diambil adalah hukum niha’i. Orang yang berjihad dan mati tidak dimandikan bahkan sebagian ulama menyatakan tidak disholati, cukup dikafani dan dikuburkan. Ini semua menunjukkan jihad itu makna syar’inya perang. Dengan demikian setiap jihad itu berarti “perang”, meskipun tidak setiap perang itu masuk kategori jihad.” [DR. Muhammad Khoir Haikal, Al Jihadu wa al Qitalu fi al Siyasah al Syar'iyah, 1/74-75]. Untuk itulah kata jihad selalu diiringi dengan kata fi sabilillah, demi menujukkan tujuannya yang mulia untuk meninggikan kalimat Allah semata. Makna yang langsung bisa dipahami dari kata fi sabilillah sendiri adalah jihad, seperti ditegaskan Imam Ibnu Hajar,”Makna yang langsung dipahami dari kata fi sabilillah adalah jihad.”[43] Karena itu tak ada ulama yang memahami hadits di bawah ini untuk makna selain jihad/perang :
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيُّ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ صَاَم يَوْمًا فِي سَبِيْلِ الله بَعَّدَ الله ُوَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا.
Dari Abu Sa’id ia berkata,” Rasulullah bersabda,” Tidak ada seorang hamba pun yang shaum sehari saja di jalan Allah (jihad) kecuali Allah akan menjauhkan dirinya dari neraka dengan (shaum) hari itu sejauh 70 tahun.” [Bukhari no.2840, Muslim no. 1153].
Imam Ibnu Jauzi berkata,” Jika disebutkan secara mutlaq kata sabilullah maka maknanya adalah jihad.”[44] Tak seorang ulamapun menggunakan hadits ini untuk mereka yang thalabul ilmi, berdakwah, mendirikan pondok dst. Semua ulama memasukkan hadits ini dalam hadits tentang jihad, tentang perang melawan orang kafir. Wallahu A’lam.
Hadits-hadits yang disebutkan juga tidak bisa menunjukkan dakwah merupakan jihad yang paling agung atau memaknai jihad secara syar’i dengan perang merupakan hal yang salah. Makna hadits–hadits tadi —wallahu A’lam— adalah dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad melawan hawa nafsu menuntut perjuangan keras dan melawan beban yang berat. Terkadang harus mengorbankan nyawa seperti kasus amar ma’ruf di hadapan sultan yang dzalim. Namun makna hadits-hadits ini juga bisa —bahkan mungkin lebih pas— bila diterapkan dalam jihad dnegan makna perang, di mana nyawa dan harta betul-betul dicurahkan untuk meninggikan Islam, melebihi pengorbanan harta dan nyawa dalam dakwah dan jihad melawan hawa nafsu. Bahkan, perang melawan orang kafir merupakan jihad melawan hawa nafsu yang paling besar, di mana selain nyawa dan harta dipertaruhkan, seluruh pelajaran tauhid, akhlaq dan hukm-hukum fiqih ada di dalamnya. Jihad dengan makna perang akan mengajarkan tauhid, tawakal, sabar, syukur, pengorbanan dst, melebihi jihad qauly (dakwah) dan jihad melawan hawa nafsu yang bukan di medan jihad. Bahkan jihad dengan makna perang ini telah mencakup jihad melawan hawa nafsu dan jihad qauly. Wallahu A’lam.
Dalam banyak hadits disebutkan keutamaan berbagai amal. Menggunakan hadits-hadits tentang utamanya berbagai amal tadi untuk menyimpulkan makna jihad secara syar’i bukan hanya perang saja, atau memaknainya dengan perang merupakan pemikiran yang salah dan picik sama sekali tidak benar. Dalam hadits disebutkan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : سُئِلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَيُّ اْلأَعْمَاِل أَفْضَلٌ ؟ قَالَ : إِيْمَانٌ بِاللهِ وَ رَسُوْلِهِ. قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : جِهَادُ فِي سَبِيْلِ الله. قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : حَجٌّ مَبْرُوْرٌ.
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah ditanya,” Amal apakah yang paling utama ?” Beliau menjawab,” Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian beliau ditanya lagi,” Lalu apa?” Beliau menjawab,” Jihad di jalan Allah.” Kemudian beliau ditanya lagi,” Lalu apa?” Beliau menjawab,” Haji yang mabrur.” [Bukhari no. 1519 ]
عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم , قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَيُّ اْلعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: اَلصَّلاَةُ عَلَى مِيْقَاتِهَا. قُلْتُ : ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ :ثُمَّ بِرُّ اْلوَالِدَيْنِ. قُلْتُ : ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ : اَلْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ. فَسَكَتُّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَ لَوْ اِسْتَزَدْتُهُ لِزَادَنِي.
Dari Ibnu Mas’ud,” Saya bertanya kepada Rasulullah,” Ya Rasulullah, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab,” Shalat tepat pada waktunya.” Saya bertanya lagi,“Lalu apa?” Beliau menjawab,” Berbakti pada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab,”Jihad di jalan Allah.” [Bukhari no.2782]. Dan hadits-hadits lain yang sebagiannya telah kita sebutkan di atas.
Dalam berbagai hadits di atas, jawaban nabi selalu berbeda-beda sesuai dengan kondisi si penanya atau kondisi waktu saat itu. Imam Ibnu Hajar berkata saat menerangkan hadits Ibnu Mas’ud tadi,” Kesimpulan para ulama mengenai hadits ini dan hadits-hadits lain yang saling berbeda mengenai amal yang paling utama bahwasanya jawaban nabi berbeda-beda sesuai kondisi si penanya dengan cara memberitahukan kepada setiap kaum apa yang mereka butuhkan atau amalan apa yang mereka senangi atau cocok untuk mereka atau (bisa) juga berbeda sesuai perbedaan waktu dengan (penjelasan) amal itu lebih utama untuk waktu itu. Karena jihad itu awal Islam adalah sebaik-baik amalan karena merupakan wasilah untuk melaksanakan (menegakkan) Islam dan memngkinkan untuk melaksanakannya. Banyak sekali nash-nash yang menyatakan shalat lebih utama dari shadaqah, meski demikian dalam kondisi menyantuni orang yang dalam keadaan terjepit lebih utama dari sholat. Atau bisa jadi bukan lebih utama dari amalan yang serupa dengannya, namun maksudnya adalah keutamaan secara mutlaq atau maknanya adalah termasuk amalan yang paling utama, kata termasuk (من) dibuang, dan itulah yang dimaksudkan.” [45]
Dengan ini bisa dimengerti cara memadukan berbagai hadits yang nampaknya bertentangan dalam masalah amalan yang paling utama inii. Kaidah yang diterangkan Ibnu Hajar ini berlaku juga untuk menerangkan jihad yang paling utama. Beliau kadang menyebut,” Seutama-utama jihad adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim.” Terkadang bersabda,” Seutama-utama jihad adlah engkau berjihad melawan nafsumu demi Allah.” Terkadang beliau bersabda,”Orang yang kudanya terbunuh dan darahnya tertumpah.” Terkadang juga bersabda,”Bagi kalian (kaum wanita) ada jihad yang paling utama yaitu haji yang mabrur.”Jawaban beliau ini berbeda-beda sesuai kondisi suasana saat itu atau kondisi si penanya. Namun demikian, tetap jihad dengan makna memerangi orang kafir dengan senjata yang mempertaruhkan nyawa dan harta itu sebagai jihad paling utama, dan itulah makna syar’i dari kata jihad. Wallahu A’lam.
Agar jawaban di atas lebih bisa dipahami, ada baiknya kita membahas penggunaan berbagai istilah dalam Islam :
Istilah Syar’i Dan Pemakaiannya
Dalam Islam, istilah-istilah syar’i selalu mempunyai dua makna; makna bahasa dan makna syar’i atau istilah. Dalam penggunaannya, makna yang dipakai pedoman dan penilaian adalah makna syar’i/istilah. Sebagai contoh :
a). Sholat maknanya secara bahasa adalah doa, sedang secara syar’i perbuatan dan perkataa tertentu dengan aturan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri salam. Makna sholat dengan makna bahasa “doa” ini tersebut dalam ayat dan hadits, namun demikian setiap kali kata sholat disbut maka yang langsung dipahami oleh siapapun adalah makna keduanya, makna syar’inya. Saat sholat dhuhur tiba, misalnya, seluruh orang dalam masjid mendirikan sholat Dhuhur berjama’ah, namun ada seseorang memojok dan tdak ikut sholat, ia berdiam diri dzikir atau membaca Al Qur’an. Ketika ditanya, kenapa tidak sholat ia menjawab sudah karena sholat itu kan berdoa. Akankah jawaban ini diterima? Tentu saja semua pihak akan menolaknya, bisa dipastikan ia malah dituduh pengikut kebatinan atau aliran sesat lainya. Kenapa demikian, karena ia mempermainkan istilah syariat.
b). Shaum maknanya secara bahasa adalah diam atau menahan diri. Tidak berbicara namanya shaoum, tidak makan namanya shoum, tidak tidur namanya shaum,dst. Makna shaum secara syar’i adalah menahan diri dari makan, minum, jima’ dan seluruh pekerjaan lain yang membatalkan shoum menurut syariat sejak terbit fajar sampai tenggelamnya matahari.
Demikian pula jihad. Ia mempunyai makna secara bahasa dan syar’i seperti telah kita terangkan di muka. Meski makna sekunder jihad banyak seperti jihad melawan syetan, melawan hawa nafsu da lain-lain, atau makna bahasanya mengerahkan segenap kemampuan, kita tidak bisa menyebut bersungguh-sungguh main bola itu jihad sekalipun seluruh tenaga terkuras habis. Kenapa? Karna itu artinya bermain-main dengan istilah syariat. Cukuplah main bola disebut sebagai bermain bola, dakwah dengan dakwah, membangun ponpes dengan membangun ponpes dst. Cukuplah jihad itu perang melawan orang kafir. Memang bisa dimaknai dakwah dst, tapi itu kalau ada qarinah. [46]
Kesimpulannya :
Kata jihad diungkapkan dengan dua cara yaitu : (1) Dengan secara mutlak (berdiri sendiri) dan (2) Dengan ungkapan yang disertai qorinah (keterangan) yang memalingkan dari makna aslinya. Jika disebutkan secara mutlak maka tidak ada arti lain kecuali perang melawan orang-orang kafir. Inilah makna syar’i yang dibicarakan seluruh ulama madzhab tadi. Jihad dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan dzirwatu sanamil islam (puncak ketinggian Islam) dan sebaik-baik amalan secara mutlak sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Nuhas[47] dan Ibnu Taimiyah[48]. Setiap hadits dan ayat yang menerangkan keutamaan jihad maka maknanya adalah jihad dalam artian perang ini. Jihad dalam pengertian ini pulalah yang hukumnya asalnya fardlu kifayah dan dalam beberapa kondisi tertentu menjadi fardlu ain. Adapun dakwah dst itu termasuk jihad dengan makna kedua, dan jihad tidak dimaknai dengan makna kedua ini bila tidak ada qarinah. Kesalahan sebagian pihak saat ini adalah memaksakan jihaddengan qarinah ini untuk bisa menempati makna jihad mutlaq tanpa qarinah ini. Wallahu A’lam.
Oleh karena itu, Syaikh Abdul Akhir Hamad Al-Ghunaimy dalam mendudukkan persoalan ini mengatakan,” Yang benar, memang jihad dalam Islam mencakup jihad melawan syetan, hawa nafsu dan godaan dunia. Akan tetapi yang paling tinggi adalah memerangi musuh-musuh Allah dengan pedang dan tombak dan inilah puncak ketinggian Islam dan ini pulalah yang dimaksud dengan jihad kalau diungkapkan secara mutlak (berdiri sendiri)”.[49] Begitu juga ungkapan Imam Ibnu Rusyd, yang telah kita ungkapkan dua kali di atas.
Jadi segala bentuk jihad, baik jihad melawan hawa nafsu, syetan atau godaan dunia disyari’atkan dalam Islam bahkan segala bentuk jerih payah dalam rangka beribadah kepada Alloh adalah jihad fi sabilillah. Namun semua bentuk dan macam jihad tesebut bukanlah yang dimaksud pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan jihad secara mutlak (berdiri sendiri) baik hukum-hukum yang berlaku padanya maupun keutamaan-keutamaannya.
Demikian juga halnya dengan Ibnu Qayyim, beliau berkata,”…Kemudian diwajibkan atas kaum muslimin secara menyeluruh untuk memerangi semua orang musyrik secara menyeluruh. Yang mana sebelumnya hal ini dilarang lalu diizinkan, lalu diperintahkan untuk melawan orang-orang yang memulai perang lalu diperintahkan untuk memerangi seluruh orang musyrik, hukum perintah terakhir ini ada yang mengatakan farhdu ‘ain namun yang masyhur adalah fardhu kifayah. Yang benar, pekerjaan jihad secara umum adalah fardhu ‘ain baik dengan hati, lisan, harta atau tangan. Semua orang Islam harus berjihad dengan berbagai bentuk jihad tersebut, adapun jihad dengan nyawa adalah fardhu kifayah sedangkan jihad dengan harta ada yang mewajibkan dan ada yang tidak. Yang benar adalah wajib juga.” [50]Ustadz Hasan Al-Banna berkata,” Yang saya maksud dengan jihad adalah sebuah kewajiban yang hukumnya tetap hingga hari kiamat. Ini merupakan kandungan dari apa yang disabdakan Rosululloh saw. :
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُو وَلَمْ يَنْوُ بِاْلغَزْوِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
”Barangsiapa mati, sedangkan ia belum pernah berperang atau berniat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.”
Peringkat pertama jihad adalah pengingkaran dengan hati dan peringkat terakhir adalah berperang di jalan Alloh. Di antara keduanya terdapat jihad dengan pena, tangan dan lesan berupa kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zlolim. Tidaklah dakwah menjadi hidup kecuali dengan jihad. Kadar ketinggian dakwah dan keluasan bentangan ufuknya adalah penentu bagi sejauh mana keagungan jihad di jalan-Nya dan sejauh mana pula harga yang harus ditebus untuk mendukungnya. Sedangkan keagungan pahalanya diberikan kepada mujahid.
وَجَاهِدُوْا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“ Dan berjihadlah di jalan Alloh dengan sebenar-benar jihad.” [ QS : Al Hajj : 78 ]
Dengan demikian engkau telah mengerti slogan abadimu:”Jihad adalah jalan kami.”
Syaikh Said Hawa menerangkan perkataan beliau di atas dengan berkata,“ Kami sebutkan dalam kitab jundulloh tsaqofatan wa akhlaqon bahwa jihad itu ada lima macam yaitu; jihad dengan tangan, jihad dengan lisan, jihad dengan harta, jihad dengan politik.” Lebih lanjut beliau berkata,”Jika jihad disebutkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah jihad dengan tangan.” [51]
Seperti telah diungkapkan di atas, seluruh ulama menyebutkan bahwa melawan hawa nafsu, syetan, berdakwah dan sebagainya, itu termasuk jihad namun jihad dalam artian bahasa, atau jihad dalam artian sekunder. Hal itu memang benar dan tidak diingkari, namun demikian pengertian ini tetap tidak bisa dimasukkan kedalam pengertian jihad secara khusus ( syar’i/saat jihad disebut secara mutlaq ). Kenapa ? Karena memang perbedaan hukum-hukum, kedudukan dan keutamaannya. Hukum-hukum jihad seperti fa’i, ghanimah, kharaj, ghulul, membunuh lawan, keutamaan mati syahid dan sebagainya, itu semua hanya berlaku untuk jihad dengan makna syar’i ( mutlaq ), bukan untuk dakwah dan sebagainya. Itulah kenapa makna jihad secara syar’I menurut seluruh ulama salaf adalah perang, bukan dakwah dan sebagainya. Karena kita tidak bisa artikan, misalnya, hadits orang mati syahid memberi syafa’at 70 anggota keluarganya itu untuk orang yang dakwah (tabligh atau mengajar di pondok lalu sakit dan mati, misalnya), karena hadits itu untuk jihad dengan makna syar’i, yaitu perang. Wallahu A’lam.
Perang Adalah Jihad Terbesar.
Belakangan ini semakin banyak pihak yang menyatakan jihad dengan makna syar’i (perang) bukanlah jihad yang paling utama. Dengan berbagai dalil, mereka mencoba memperkuat pendapatnya, sebuah pendapat yang sama sekali tidak pernah dikenal salafush sholih. Ada yang mengatakan da’wah, perjuangan diplomasi dan menjadi oposisi lewat jalur MPR / parlemen merupakan jihad terbesar, dengan hadits orang yang mengatakan kebenaran di hadapan pemerintah yang dzalim. Padahal jelas sekali banyak ayat dan hadits yang menerangkan jihad dengan makna syar’i perang adalah jihad yang paling utama dan tinggi, seperti firman Allah ta’ala :
لَا يَسْتَوِي اْلقاَعِدُوْنِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ غَيْرُ أُوْلِي الضَّرَرِ وَاْلمُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ بِأَ‎مْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ اْلمجُاَهِدِيْنَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى اْلقَاعِدِيْنَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ اْلمُجَاهِدِيْنَ عَلىَ اْلقَاعِدِيْنَ أَجْرًاعَظِيْمًا * دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْماً.
“ Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk ( tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orqng-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang –orang yang duduk satu derajat, kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik ( syurga) dan Allah melebihkan orang–orang yang jihad atas orang–orang yang duduk dengan pahala yang besar. Yaitu beberapa derajat, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”( An Nisa 95-96 )
يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنَّاتٍ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمُُ مُّقِيمٌ . خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا إِنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمُُ
“Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal” (At Taubah ; 21-22 )
Keterangan : Orang yang berjihad diutamakan atas orang yang duduk-duduk ( tidak berjihad ). Bisa jadi orang yang duduk-duduk ini melakukan jihad dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, jihad melawan hawa nafsu dan setan, karena Allah juga menjanjikan bagi mereka pahala dan kebaikan. Namun demikian tetap saja Allah melebihkan yang berjihad dengan derajat, maghfirah dan rahmat-Nya. Ini menunjukan jihad dengan makna perang adalah jihad terbesar dan paling utama. Hal ini juga menunjukkan bahwa makna jihad secara syar’i adalah perang, bukan dakwah dst.
Rasulullah bersabda :
رَأْسُ اْلأَمْرِ الِإسْلَامُ وَعُمُوْدُهُ اَلصَّلَاةُ وَ ذَرْوَةُ سَنَامِهِ اَلْجِهَادُ.
” Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad.” [52]
Keterangan :Dalam hadits ini Rasulullah menempatkan jihad dengan makna perang sebagai amalan paling tinggi dalam Islam, kenapa makna perang? Karena shalat sendiri adalah jihad, namun beliau tidak menyebutnya dengan jihad. Dengan demikian, jihad di sini adalah perang.
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرُهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْللِإْيمَانِ.
“Siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia merubah dengan tangan, bila tidak mampu hendaklah dengan lisan, bila tetap tidak mampu hendaklah dengan hati dan itulah selemah-lemah iman.” [53]
Keterangan : Kemungkaran yang paling besar di muka bumi ini adalah adanya kekafiran dan kesyirikan. Hadits ini menjelaskan tingkatan merubah kemungkaran mulai dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah. Idealnya, merubah adalah dengan tangan. Kalau tidak bisa maka dengan lisan, kalau tetap tidak bisa maka dengan hati. Merubah dengan tangan termasuk di dalamnya adalah jihad. Dengan demikian, jihad dengan artian perang lebih utama dari jihad da’wah, jihad melawan hawa nafsunya sendiri dan sebagainya. [54] Juga hadits Ibnu Mas’ud tentang amar ma;ruf nahi mukar di atas, telah sebutan yang paling tinggi adalah amar makruf dengan tangan, termasuk di dalamnya jihad.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. ia berkata,” Dikatakan kepada Rosululloh saw,” Wahai Rosululloh, orang bagaimanakah yang paling utama ?” Rosululloh saw. Menjawab,” Orang mukmin yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya.” Mereka bertanya lagi,” Kemudian siapa?” Beliau menjawab,” Seorang mukmin yang (menyendiri) berada dalam suatu lembah, takut kepada Alloh dan meninggalkan manusia karena kejahatan mereka .” [55]
Imam Ibnu Daqiq al ‘Ied berkata,” Qiyas menuntut jihad menjadi amalan dengan kategori wasilah yang paling utama, karena jihad merupakan sarana untuk meninggikan dan menyebarkan dien serta memadamkan kekafiran, sehingga keutamaannya sesuai dengan keutamaann hal itu. Wallahu A’lam.” [56]
Dari Abu Huroiroh ra. Beliau berkata,“ Datang seseorang kepada Rosululloh saw. Lalu berkata,” Tunjukkan padaku sebuah amalan yang bisa menyamai jihad !!” Beliau menjawab,”Aku tidak mendapatkannya. Apakah kamu mampu apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk masjid lalu sholat dan tidak berhenti dan kamu shaum dan tidak berbuka?” Orang tersebut berkata,” Siapa yang mampu melakukan hal tersebut???” Abu Huroiroh berkata,” Sesungguhnya bermainnya kuda seorang mujahid itu dicatat sebagai beberapa kebaikan.” [57]
Imam Ibnu Hajar berkata,” …(Hadits) ini merupakan keutamaan yang jelas bagi mujahid fi sabilillah, yang menuntut tak ada amalan yang menyamai jihad.” [58]
قَالَ قَتَادَةُ : سَمِعْتُ أَنَسَ بْنِ مَالِكِ عَنْ النَبِيِ قَالَ: مَا أَحَدٌ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ إِليَ الدُّنْيَا وَ لَهُ مَا عَلَى اْلأَرْضِ مِنْ شَيْئٍ إِلَّا الشَهِيْدُ يَتَمَنَّى أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا فَيَقْتُلْ عَشْرَ مَرَاتٍ لَمَا يَرَى مِنْ الْكَرَامَةِ.
Qatadah berkata,” Saya mendengar Anas bin Malik dari Nabi beliau bersabda,” Tidak ada seorang pun masuk surga yang ingin kembali ke dunia padahal ia mempunyai (di surga) seluruh apayang ada di dunia, kecuali orang yang mati syahid. Ia berangan-angan kembali ke dunia dan terbunuh sepuluh kali, karena ia mengerti keutamaan (bila mati syahid di medan perang).” [59]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh imam An Nasa’I dan al Hakim. Imam Ibnu Bathal berkata,”Hadits ini merupakan hadits yang paling agung dalam menerangkan keutamaan mati syahid. Tidak ada amal kebaikan yang di dalamnya nyawa diprtaruhkan selain jihad, karena itu pahalanya pun besar.” [60]
Berkaitan dengan makna jihad ini, ada kekhawatiran mendalam yang kadang-kadang (dan sayangnya ini sudah menjadi realita) perluasan makna syar’i jihad dari perang menjadi thalabul ilmi juga jihad, tashfiyah juga jihad, dakwah juga jihad, membangun ponpes dan madrasah juga jihad, menyantuni anak yatim juga jihad, berjuang lewat parlemen/jalur konstitusi juga jihad dst ini dijadikan alasan untuk mencukupkan diri/ organisasi/ jam’iyah/ partai/ jama’ahnya dengan bidang yang digelutinya, tidak mengadakan i’dad (persiapan secara militer untuk jihad dengan makna syar’i perang) dengan beralasan bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah jihad. Lebih buruk lagi bila ditambah dengan menuduh orang yang mengartikan jihad dengan perang lalu mengadakan i’dad (persiapan militer) sebagai orang picik, tak berwawasan luas, teroris, merusak medan dakwah dll. Inilah yang mengundang kritik banyak ulama yang berusaha keras meluruskan berbagai penyimpangan ini.
Sebenarnya perselisihan yang terjadi dalam masalah ini, tidaklah berbahaya kalau hanya ikhtilaful lafdzi (perbedaan dalam menggunakan istilah) saja. Artinya masing-masing pendapat tidak meninggalkan amalan yang dilakukan oleh yang lain, dan juga tidak mencampur adukkan dalil. Misalnya menggunakan dalil-dalil keutamaan perang untuk dakwah begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, perselisihan ini tidak menimbulkan perselisihan dalam beramal, kecuali pada masalah-masalah yang memang masih diperbolehkan untuk berijtihad dan berselisih pendapat. Sehingga yang berjihad dengan makna syar’i ( perang ) tidak mengabaikan dan meremehkan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, begitu juga sebaliknya yang tidak berjihad tidak mengabaikan dan meremehkan kewajiban perang melawan orang-orang kafir. Wallahu A’lam.
B. Jihadun nafs dan jihadusy syaithon.
Selain mengartikan jihad dengan berbagai amalan di luar perang melawan orang kafir, di kalangan kaum muslimin juga tersebar luas pemahaman bahwa perang melawan musuh adalah jihad ashghor sedangkan jihadun nafs adalah jihad akbar.
Dalil yang dijadikan sandaran adalah :
* Hadits :
قَدَمْتُمْ خَيْرَ مُقَدَّمٍ وَقَدَمْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الأَكْبَرِ مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ هَوَاُه
“Kalian datang sebagai sebaik-baik pendatang, dan kalian datang dari jihad ashghor menuju jihad akbar yaitu jihad melawan hawa nafsu.” Dalam riwayat lain :
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى اْلجِهَادِ الَأكَْبَرِ قاَلُوْا وَمَا جِهَادُ الْأَكْبَرِ قَالَ جِهَادُ الْقَلْبِ أَوْ جِهَادُ اْلَنَفْسِ
* Hadits :
وَاْلمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِى طَاعَةِ اللهِ وَاْلمُهَاجِرُ مَ[61]نْ هَجَرَ مَا نَهَي عَنْهُ
” Mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam rangka ta’at kepada Allah dan muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan-larangan Allah” [62]
* Perkataan Imam Ibnu Qoyyim,“ Oleh karena jihad melawan musuh-musuh Allah yang dhohir itu adalah cabang dari jihad nafs karena Allah, sebagaimana sabda Nabi,”Mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam rangka ta’at kepada Allah dan muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan-larangan Allah.” maka jihadun nafs lebih didahulukan dari melawan musuh yang dhohir, dan jihadun nafs adalah pokok dari pada jihad kuffar karena siapa belum berjihad melawan hawa nafsunya dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya serta memerangi hawa nafsu karena Allah dia tidak akan mampu untuk berjihad melawan musuh-musuh Allah yang dhohir. Bagaimana mungkin dia mampu berjihad melawan musuh Allah, sedang musuh yang mengusai dirinya saja belum ia perangi ? Ia tidak akan mungkin mampu keluar pergi berjihad melawan musuh Allah sampai ia berjihad menundukkan hawa nafsunya sehingga mau keluar melawan musuh-musuh Allah. Seorang hamba diuji untuk berjihad melawan kedua musuh ini (musuh yang lahir dan bathin). Di antara kedua musuh tersebut masih ada lagi musuh ketiga, ia tidak akan mungkin memerangi kedua musuh tersebut kecuali bila dia (telah) bisa melawan musuh yang ketiga yang melemahkan semangatnya, menakut-nakuti dan selalu membuat khayalan baginya betapa beratnya jihad melawan keduanya dan hilangnya seluruh kesenangan. Ia tidak mungkin berjihad melawan kedua musuh tersebut musuh tersebut kecuali setelah melawan musuh yang ketiga ini. Karena itu jihad melawan musuh yang ketiga ini pokok dari jihad melawan kedua musuh di atas. Musuh yang ketiga ini adalah syaithon. Allah berfirman,“Sesungguhnya syaithon itu musuh bagi kalian maka jadikanlah ia sebagai musuh.” Perintah untuk menjadikan syaiton sebagai musuh adalah peringatan supaya mengerahkan segala kemampuan untuk memeranginya, karena syaithan (merupakan) musuh yang tidak pernah berhenti untuk memerangi hamba setiap detak nafas, dengan demikian maka sebenarnya seorang hamba diperintah untuk memerangi tiga musuh ini.”[63]
Jawaban Atas Pernyataan Ini :
1. Hadits pertama begitu terkenal di masyarakat kita. Untuk menjawabnya kita serahkan kepada para ulama pakar hadits. Komentar Ulama’ hadits tentang hadits ini ;
Para ulama hadits yaitu imam Ibnu Mu’in, Al Baihaqi, Al-‘Iroqi dan Al Suyuti menyatakan bahwa sanad hadits ini dhoif sekali, bahkan sebagian ulama hadits lainnya seperti Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah menyatakan hadits ini hadits palsu :
Imam Al Iraqy berkata dalam takhrij Ihya’ Ulumi al Dien 2/6,”Diriwayatkan oleh Al Baihaqy dalam kitab al Zuhdu dari riwayat Jabir, sanad hadits ini lemah.”
Imam Ibnu Hajar dalam takhrij al Kasyaf 4/114 berkata,” Hadits ini dari riwayat Isa bin Ibrahim dari Yahya bin Ya’la dari Laits bin Abi Sulaim. Ketiga perawi ini lemah. Juga diriwayatkan oleh an Nasa’i dalam kitab al Kuna dari perkataan Ibrahim bin Abi Ablah, seorang tabi’in dari Syam.”
Dalam Tasdidu al Qaus, beliau juga berkata,” Hadits ini begitu terkenal di kalangan mansyarakat, (padahal) merupakan perkataan Ibrahim bin Abi Ablah, dalam kitab al Kuna karangan imam an Nasa’i.”
Syaikh Zakaria al Anshari dalam Ta’liq atas tafsir al Baidhawi menyatakan bahwa imam Ibnu Taimiyah berkata tentang hadits ini,” Tidak ada asalnya (hadits palsu).” Ibnu Hajar berkata tentang perawi Yahya bin Al Ala,” Dia tertuduh memalsukan hadits.” Imam Ad Dzahabi berkata,” Imam Abu Hatim berkata,“Dia tidak kuat periwayatannya.” Imam Ad-Daruqutni berkata,”Dia matruk (tertuduh memalsu hadits).” Imam Ahmad berkata,” Dia adalah kadzdzaab ( pembohong/ pemalsu hadits).” Syaikh Nashirudin al Albani menyatakan hadist ini munkar (sangat lemah).[64]
Syaikhul Islam imam Ibnu Taimiyah berkata,” Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sebagian orang bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Salam datang dari perang Tabuk dan bersabda,”Kita kembali dari al jihad al asghar menuju al jihad al akbar,”maka tidak ada asalnya (hadits palsu) dan tak seorang ulama hadits pun yang meriwayatkannya. Jihad melawan orang-orang kafir adalah seutama-utama amalan bahkan amalan paling utama yang dikerjakan oleh manusia.” Allah Ta’ala berfirman :
لاَ يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا {95}
“ Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar [ Q S An Nisa` : 95 ].
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَآجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللهِ لاَيَسْتَوُونَ عِندَ اللهِ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ {19} الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللهِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَآئِزُونَ {20} يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنَّاتٍ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمُُ مُّقِيمٌ {21} خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا إِنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمُُ {22}
Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah. Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim. (20) Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. (21) Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, (22) mereka kekal di dalanya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.[Q S At Taubah: 19-22 ]. Beliau kemudian menyebutkan beberapa hadits yang menerangkan keutamaan jihad melawan orang kafir sebagai amalan yang paling utama.[65]
Seperti disebutkan Imam Ibnu Hajar dan imam Adz Dhahabi, riwayat di atas bukanlah hadits melainkan perkataan seorang sighoru tabi’in bernama Abu Ishaq Al ‘Uqaili Ibrahim bin Abi ‘Ablah. Seorang tabi’it tabi’in bernama Muhammad bin Ziyad Al Maqdisi berkata,” Saya mendengar Ibnu Abi ‘Ablah berkata kepada orang yang kembali dari medan perang,” Kalian telah datang dari jihad asghar. Lantas apa yang kalian kerjakan dalam jihad akbar, yaitu jihadul qalb ?”[66] Imam Al Hakim berkata,” Saya bertanya kepada Imam ad Daruquthni,” (Bagaimana status ) Ibrahim bin Abi ‘Ablah ?” Beliau menjawab,” Jalan-jalan (sanad) kepadanya tidak bersih meskipun ia sendiri seorang yang tsiqah.” [67]
Hadits pertama ini jelas tidak bisa dijadikan landasan pernyataan jihad melawan hawa nafsu adalah jihad paling utama dan terbesar, karena jelas sanadnya sangat lemah atau bahkan hadits palsu serta bertentangan dengan nash-nash Al Qur’an dan As Sunah. Memang melawan hawa nafsu dan senantiasa beramal sholih merupakan suatu kewajiban bagi setiap mujahid karena kemenangan dalam medan perang selalu berasal dari amal sholih, sebagaimana dikatakan shahabat Abu Darda’,” Kalian berperang (bermodalkan) amal kalian.”[68] Namun demikian, jihad yang paling besar dan paling utama adalah perang melawan musuh-musuh Islam sebagaimana ditegaskan oleh Al Qur’an dan As Sunah, seperti yang diterangkan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
2. Hadits kedua adalah hadits yang shahih. Cara memahami hadits ini sudah dijelaskan dalam keterangan terdahulu tentang cara memahami hadits-hadits yang menerangkan amal yang paling utama. Sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Hajar, jawaban nabi ini disesuaikan dengan kondisi si penanya atau kondisi waktu dan tempat saat itu. Barangkali si penanya masih bergelimang dosa, sehingga nabi menyatakan kepadanya bahwa berjuang mengalahkan hawa nafsu itu jihad terbesar baginya.
Di sini akan kita ketengahkan penjelasan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang hadits ini. Beliau menjelaskan bahwa wali-wali Allah tidak mempuyai cirri khusus yang membedakan dengan hamba-hamba Allah lainnya. Wali Allah adalah orang yang bertakwa, sementara Al Qur’an dan As Sunah menunjukkan bahwa manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling bertakqwa. Kemudian beliau mengatakan :
” Lafal al faqru (faqir) dalam syar’i kadang bermakna faqir (membutuhkan) harta dan kadang bermakna makhluk faqir (membutuhkan) Rabbnya. Sebagaimana Allah berfirman :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ {60}
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu’allaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Biajaksana. [QS. Al Taubah : 60].
Allah juga berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاُس أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللهِ
” Wahai manusia, kalian faqir (membutuhkan) Allah.”
Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala telah memuji dua golongan fuqara’ yaitu: orang yang menerima sedekah dan orang yang menerima fa’i. Allah berfirman tentang kelompok fakir yang pertama:
لِلْفُقَرَآءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي اْلأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَآءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْئَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَاتُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ
” (Berinfaqlah) Bagi para faqir yang tertahan di jalan Allah (jihad), mereka tidak dapat berusaha di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka itu orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta…” )Al Baqarah :273(
Sedang bagi yang kedua yang merupakan kelompok yang lebih utama, Allah berfirman:
لِلْفُقَرَآءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا وَيَنصُرُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
” Bagi para faqir yang berhijrah, yang diusir dari negerinya dan dari harta bendanya karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya serta menolong Allah dan Rassul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” )Al Hasyr: 8(
Inilah sifat muhajirin yang berhijrah meninggalkan kejahatan dan berjihad melawan musuh-musuh Allah secara lahir dan batin. Sebagaimana sabda Nabi,” Orang mukmin itu orang yang darah dan harta orang lain selamat dari gangguannya, orang muslim itu orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya, orang yang berhijrah itu orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah orang yang berjihad itu orang yang berjuang melawan hawa nafsunya demi Allah.” [69]
Dalam penjelasan ini, Syaikhul Islam menerangkan bahwa kaum fuqara’ yang berhijrah dan berjihad melawan orang-orang musyrik lebih utama dari kaum fuqara’ yang berjihad saja tanpa berhijrah. Beliau menyebutkan hadits kedua yang dijadikan landasan oleh sebagian pihak untuk menyatakan jihad melawan hawa nafsu merupakan jihad paling besar dan utama dalam Islam. Jelaslah bahwa orang yang berjihad (dengan makna syar’i yaitu berperang melawan orang-orang kafir) berarti telah berhasil meninggalkan (berhijrah) kemaksiatan dan mengalahkan hawa nafsunya, nafsu cinta dunia, takut mati, sifat pengecut, dan akhlak-akhlak tercela lainnya. Orang yang berperang melawan orang-orang kafir telah menunjukkan kemenangan dia melawan hawa nafsu tersebut, terbukti dengan pencurahan nyawa dan hartanya demi mencapai ridho Allah, mengutamakan rasa cinta, takut dan pengharapan kepada Allah melebihi cinta, takut dan pengharapannya kepada kenikmatan duniawi, menampakkan kesabaran, ketawakalan, ukhuwah dengan sesama umat Islam dan seluruh aspek akhlak terpuji lainnya telah nampak dalam jihadnya melawan orang kafir. Karena itu, jelas perang melawan orang kafir merupakan jihad terbesar karena mencakup jihad lahir dan batin, sebagaimana penjelasan syaikhul Islam.
3- Jawaban atas perkataan imam Ibnu Qayyim. Saat ini banyak kalangan yang memperalat perkataan Imam Ibnu Qayyim untuk menomor sekiankan perang melawan orang kafir. Mereka mengatakan jihad melawan hawa nafsu adalah jihad terbesar dan paling utama. (mereka selalu berfikir) untuk apa memerangi orang kafir kalau hal itu hanyalah jihad asghar, bukankah lebih utama bila mereka jihad melawan hawa nafsunya dan setan ? (mereka selalu berfikir) Mereka tidak akan berjihad melawan orang kafir sampai mereka mengalahkan hawa nafsu, sampai iman dan aqidah mereka seperti iman para shahabat, sampai mereka bersih dari dosa. Untuk itu tidak boleh berjihad sampai mendapatkan tarbiyah dan tasfiyah, sampai akhirnya lulus dari dua program ini.
Imam Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa pokok atau landasan dari jihad melawan orang kafir adalah jihad melawan hawa nafsu dan setan dengan jalan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Orang yang mampu berjihad melawan orang-orang kafir hanyalah orang-orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya. Penjelasan beliau ini dengan jelas menunjukkan bahwa berjihad melawan orang kafir merupakan jihad terbesar dan paling agung, karena hanya bisa diraih oleh orang-orang yang lulus dari jebakan hawa nafsunya.
Untuk memerangi hawa nafsu, imam Ibnu Qayyim menyebutkan tempat tahapan :
a). Berjihad dengan mempelajari din yang haq ( Islam ).
b). Berjihad dengan mengamalkan perintah – perintah agama yang telah dipelajari.
c). Berjihad dengan mendakwahkan agama Islam serta mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu.
d). Berjihad dengan bersabar terhadap rintangan-rintangan dakwah. [70]
Sebagian pihak memperalat penjelasan beliau ini untuk menyibukkan umat Islam dari jihad melawan musuh-musuh Islam dengan alasan memerangi nafsu. Mereka mengharuskan kaum muslimin untuk belajar banyak ilmu dalam jangka waktu yang lama. Mereka mengharuskan umat Islam untuk mengkaji berbagai buku-buku aqidah, fiqih, hadits, akhlak dan ilmu-ilmu lainnya kepada para ulama. Baru setelah mereka menguasai seluruh ilmu ini, mereka kemudian mengamalkan ilmunya, kemudian berdakwah dan bersabar baru kemudian boleh berjihad. Selama belum melewati empat tahapan ini, mereka melarang kaum muslimin untuk berjihad. Akhirnya dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk boleh berjihad.
Untuk itu ke empat tahapan ini perlu didudukkan secara jelas sehingga tidak terdapat lagi kebingungan dalam memahami perkataan imam Ibnu Qayyim. Sesungguhnya ilmu ada dua : yaitu ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap individu muslim) dan ilmu yang hukumnya fardhu kifayah (wajib sebagian kaum muslimin mempelajarinya sampai tertangani secara baik sehingga kewajiban tersebut gugur atas kaum muslimin yang lain).
(1). Ilmu fardhu ‘ain. Ilmu ini juga ada dua jenis:
(a). Ilmu ‘aam atau musytarak yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh seluruh umat Islam seperti : rukun-rukun Islam, rukun-rukun iman, hal-hal yang diharamkan secara qath’i dan lain-lain.
(b). Ilmu khash yaitu mempelajari hukum-hukum secara mendetail bagi orang yang wajib atasnya untuk melaksanakannya. Contohnya : Orang yang tidak wajib membayar zakat dan melaksanakan haji karena tidak mempunyai harta yang mencapai nishob dan mencukupi untuk haji, ia tidak wajib untuk mempelajari detail-detail hukum zakat dan haji. Kewajiban mempelajari hukum-hukum haji dan zakat berlaku bagi orang yang memang mempunyai harta yang mencapai nishob dan cukup untuk melaksanakan haji.
(2). Ilmu fardhu kifayah yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh umat sebagai sebuah kesatuan, namun jika sebagian mereka mengerjakannya maka bagi yang mempelajarinya mendapat pahala dan kewajiban mempelajarinya gugur atas sebagian umat Islam yang lain. Namun jika tak ada sebagian yang mengerjakannya maka semuanya berdosa.[71]
Jika hal ini diterapkan dalam orang yang berjihad, maka ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain atasnya adalah ilmu yang ‘am (rukun Islam, rukun iman, hal-hal yang haram dan maksiat). Adapun ilmu yang wajib dipelajarinya adalah mempelajari hukum-hukum jihad yang berkaitan langsung dengan dirinya yaitu hak-hak Allah, hak-hak komandan dan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dalam perang melawan musuh. Adapun hukum-hukum ghanimah, fa’i, tawanan dan perjanjian damai atau gencatan senjata, maka tidak wajib atas dirinya namun wajib atas amir (komandan jihad).[72]
Di bawah ini kita sampaikan perkataan para ulama salaf yang menerangkan hal ini :
Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi berkata,” Barang siapa wajib atasnya haji dan zakat misalnya, kewajiban iman yang harus ia kerjakan adalah mengetahui apa yang diperintahkan kepadanya dan ia mengimani bahwa Allah mewajibkan atasnya apa yang tidak wajib diimani oleh orang lain (berupa zakat dan haji karena tidak mampu melaksanakannya—pent) kecuali secara mujmal (global). Dalam hal ini ia wajib mengimani secara mufashal (terperinci). Demikian juga seorang yang masuk Islam, kewajiban pertama kali adalah iqrar (membenarkan) secara mujmal. Jika datang waktu sholat ia wajib mengimani kewajiban sholat dan melaksanakannya. Dengan demikian, manusia tidak sama dalam iman yang diperintahkan kepada mereka.”[73]
Imam Syafi’i juga mengatakan,” Ilmu ada dua ; ilmu umum di mana seorang baligh yang sehat akalnya harus mengetahuinya …seperti sholat lima waktu dan Allah mewajibkan atas manusia shaum Ramadhan dan haji jika mampu serta zakat harta mereka, dan Allah mengharamkan atas mereka perbuatan zina, membunuh, mencuri dan minum khamr dan kewajiban yang semakna dengan hal ini di mana para hamba dikenai beban memahami, mengamalkan dan mencurahkan dari nyawa dan harta mereka, serta menahan diri dari apa yang diharamkan atas mereka.
(Kemudian beliau berkata tentang fardhu kifayah) :
“ Derajat ilmu ini tidak menjadi kewajiban seluruh manusia dan setiap individu. Siapa pun individu mampu mencapainya maka tidak boleh mereka semua menihilkannya (meninggalkannya). Jika sebagian individu sudah melaksanakannya sampai derajat mewakili, maka insya Allah yang lain tidak terkena dosa. Orang yang mengerjakannya mempunyai kelebihan atas yang meninggalkannya.”[74]
Ibnu Abdil Barr mengatakan,” Para ulama telah sepakat bahwa ilmu ada yang hukumnya fardhu ‘ain atas setiap individu dan adapula yang hukumnya fardhu kifayah jika sebagian telah melaksanakannya maka kewajiban melaksanakannya gugur atas masyarakat luas.” Beliau lalu menukil perkataan para ulama salaf dalam hal ini, seperti imam Hasan Al Bashri, Malik bin Anas, Abdullah bin Mubarak, Sufyan bin Uyainah dan Ishaq bin Rahawaih.”[75]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“ Mencari ilmu syar’i itu fardhu kifayah kecuali dalam hal-hal yang fardhu ‘ain, seperti setiap individu mencari ilmu tentang apa yang diperintahkan dan dilarang Allah atasnya, maka hal seperti ini hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana diriwayatkan oleh kedua imam (bukhari dan muslim –pent) dalam shahihain dari nabi beliau bersabda,” Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia akan dijadikan faqih dalam dien.” Setiap orang yang dikehendaki kebaikan pada dirinya oleh Allah, pasti difaqihkan dalam dien. Barang siapa tidak dijadikan faqih dalam dien maka Allah tidak menghendaki kebaikannya. Dien adalah apa yang rasul diutus dengannya. Itulah yang wajib dibenarkan dan diamalkan oleh setiap orang. Maka setiap orang wajib membenarkan khabar yang diberitakan Rasulullah dan ia wajib mentatinya dalam apa yang diperintahkannya dengan pembenaran yang umum dan ketaatan yang umum. Jika kemudian ada khabar yang tsabit (tegas/jelas keshahihahnnya) maka ia wajib membenarkannya secara tafshili (terperinci/detail), dan jika berupa perintah yang harus dikerjakan maka ia harus mentaatinya dengan ketaatan mufashalah (detail).”[76]
Lebih jelas lagi beliau menyatakan :
“ Ilmu-ilmu syar’i ada dua : ilmu ushul (pokok) dan ilmu furu’ (cabang). Ilmu ushul adalah ma’rifatullah dengan keesaan-Nya dan sifat-sifat-Nya dan membenarkan para rasul. Setiap mukallaf wajib mengetahuinya dan ia tidak boleh taqlid karena telah nampak jelasnya tanda-tanda kebesaran Allah. Allah berfirman,” Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada ilah selain Allah.” (QS. Muhammad :19). Allah berfirman,” Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di ufuq dan dalam diri mereka sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Allah adalah haq.” (QS. Fushilat :53).
Adapun Ilmu furu’ adalah ilmu fiqih dan mengetahui hukum-hukum dien. Ini terbagi menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain contohnya ilmu tentang thaharah, sholat dan shaum. Setiap individu wajib mengetahuinya. Rasulullah bersabda,” Menuntut ilmu itu wajib ats setiap individu.” Demikian juga setiap ibadah yang diwajibkan syariat atas tiap individu, wajib hukumnya mengetahuinya seperti ilmu zakat jika ia mempunyai harta dan ilmu haji jika telah wajib atasnya.
Adapun fardhu kifayah adalah mempelajari ilmu yang menyampaikan kepada derajat ijtihad dan fatwa. Jika penduduk sebuah negeri tidak mempelajarinya, mereka semua telah bermaksiat. Jika seorang di antara mereka telah mempelajarinya (dan telah mencukupi—pent) maka kewajiban itu gugur atas yang lain dan mereka semua harus bertaqlid kepada orang tersebut dalam perkara-perkara yang menimpa mereka (di bidang itu—pent). Allah berfirman,” Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl :23).”[77]
Bila penjelasan mengenai ilmu ini sudah dipahami, maka jelaslah cara memahami keterangan imam Ibnu Qayyim di atas, dan jelas pula jawaban atas syubhat jihad hawa nafsu adalah jihad paling agung dan paling utama sehingga seorang muslim tidak boleh berjihad sebelum belajar dan menuntut ilmu ;
- Jika yang mereka maksudkan adalah ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain, maka mempelajari rukun iman, rukun Islam, tauhid, hal-hal yang membatalkan keislaman dan hal-hal yang haram dan maksiat itu mudah tak memerlukan waktu yang lama. Mereka tidak wajib mengetahui dalil-dalilnya secara terperinci. Sebagaimana Imam Al Qurthubi mengatakan,” Inilah pendapat para imam-imam pemberi fatwa dan para imam salaf sebelum mereka, dan sebagain mereka berhujah dengan pendapat yang telah lewat berupa pokok-poko fithrah dan juga berdasar riwayat mutawatir dari Rasulullah kemudian para shahabat bahwa mereka menghukumi keislaman orang yang masuk Islam dari penduduk arab pedalaman yang semula menyembah berhala. Mereka menerima dari penduduk arab tersebut pengakuan mereka dengan dua kalimat syahadat dan iltizam (komitmen) dengan hukum-hukum Islam tanpa mewajibkan mereka mempelajari dalil-dalinya.” [78] Hal ini juga diterangkan oleh imam An Nawawi[79] dan para ulama lain.[80]
- Jika yang mereka maksudkan adalah ilmu-ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain sehingga seorang muslim tidak boleh berjihad sampai menguasai kadar tertentu dari ilmu-ilmu syar’i, maka ini jelas batil karena :
(a) Merubah hal yang hukumnya fardhu kifayah menjadi fardhu ‘ain. Akibatnya meniadakan maslahat bagi umat Islam dengan memerintahkan mereka semua untuk belajar. Ini jelas bertentangan dengan firman Allah :
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
_ Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya._ [QS. At Taubah :122]. Ayat ini membagi umat Islam menjadi dua kelompok : kelompok yang belajar dan kelompok yang tidak belajar, seperti firman Allah :
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
套maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui._ [QS. An Nahl :43, Al Anbiya’ :7]. Ayat ini menunjukkan kewajiban orang yang tidak mengerti (awam, kelompok yang tidak belajar) adalah bertanya kepada kelompok yang belajar (mutafaqih, ulama). Sementara kewajiban ulama dan mutafaqih adalah menjawab pertanyaan orang yang bertanya. Jika ulama dan mutafaqih melihat orang yang tidak tahu melakukan suatu perbuatan yang salah, maka kewajiban mereka adalah memberi peringatan dan pengertian seperti firman Allah :
وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
套dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya._ [QS. At Taubah :122].
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ
_ Katakanlah,’ Kemarilah, aku bacakan kepada kalian apa yang diharamkan rabb kalian kepada kalian.’ [QS. Al An’am :151].
(b) Menjadikan sesuatu yang bukan syarat jihad menjadi syarat jihad dengan mensyaratkan belajar terlebih dahulu kepada orang yang akan berjihad. Padahal sama sekali tidak ada dalil Al Qur’an dan As Sunah yang menyatakan belajar terlbih dahulu merupakan syarat jihad. Dengan demikian, persyaratan ini adalah bid’ah dholalah. Sirah Rasulullah, para shahabat dan para ulama salaf sesudah mereka juga tidak mensyaratkan menuntut ilmu terlebih dahulu atas setiap muslim yang akan berjihad. Mereka tidak menguji kemampuan ilmu syar’i setiap muslim yang akan berjihad.
Rasulullah bersama 1400 shahabat dalam perjanjian Hudaibiyyah (tahun keenam H), bersama dengan 10.000 shahabat dalam fathu Makkah (tahun 8 H) dan sebulan kemudian beliau menerjuni perang Hunain bersama 12.000 shahabat, 2000 di antaranya adalah kaum Quraisy yang baru masuk Islam seulan sebelumnya. Kapan mereka belajar ilmu-ilmu syar’i kalau keislaman mereka baru berjalan satu bulan ? Apakah Rasulullah menyuruh mereka tinggal di Makkah dan melarang mereka untuk tidak berjihad dengan alas an belum menuntut ilmu syar’i ? Rasulullah justru melibatkan mereka dalam jihad dan mengajari mereka ilmu-ilmu syar’i dalam perjalan jihad, sebagaimana hadits :
Abu Waqid Al Laitsy berkata,” Kami keluar bersama Rasulullah menuju Hunain padahal kami baru saja keluar dari kekufuran. Orang-orang musyrik mempunyai sebatang pohon keramat tempat mereka berkumpul dan menggantungkan senjata, namanya dzatu anwath. Kami melewati pohon semisal, maka kami berkata,” Ya Rasulullah, buatlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka juga mempunyai dzatu anwath.” Maka beliau bersabda,” Allahu Akbar, sesungguhnya hal ini merupakan jalan (umat terdahulu). Demi Dzat yang nyawaku di tangan-Nya, seperti perkataan Bani Israil kepada Musa “ Buatlah untuk kami Ilah (tuhan sesembahan) sebagaimana mereka mempunyai banyak ilah (sesembahan).” –Terjemah QS. Al A’raaf :138—Kalian benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.”[81]
Begitu juga sirah para khulafaur rasyidun. Kaum murtad yang diperangi pada masa kholifah Abu Bakar, mereka langsung dikirim ke medan jihad melawan Romawi dan Persia. Merekalah yang menaklukkan Syam dan Iraq. Khalifah sama sekali tidak memerintahkan kepada mereka untuk menuntut ilmu syar’i terlebih dahulu.
Bahkan kalau ada orang yang tidak mempelajari ilmu-ilmu fardhu ‘ain lantas ia ikut berjihad, ketidak belajarannya tetap tidak menghalangi untuk berjihad. Inilah sunah Rasulullah dan para khalifah selanjutnya :
عَنْ أَبِيْ إِسْحَاقِ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يَقُوْلُ : أَتَى النَّبِيَ رَجُلٌ مُقَنِّعُ بِالْحَدِيْدِ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أُقَاتِلُ أَوْ أُسْلَمْ ؟ قَالَ : أَسْلَمْ ثُمَّ قَاتِلْ. فَأَسْلَمَ ثُمَّ قَاتِلْ فَقُتِلَ,فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ : عَمِلَ قَلِيْلًا وَ أُجِرَ كَثِيْرًا.
Dari Abu Ishaq ia berkata,” Saya mendengar al Bara’ bin Azib berkata,”Seorang laki-laki mendatangi Nabi sedang ia telah memakai helm besi untuk perang dan bertanya,” Ya Rasulullah, saya masuk Islam dulu atau ikut perang dulu?” Beliau menjawab,’ masuklah Islam baru kemudian ikut berperang?” Maka ia masuk Islam dan ikut berperang, sampai akhirnya terbunuh. Maka Rasulullah bersabda,” Ia beramal sdikit dan mendapat anyak pahala.” [82]
Ibnu Ishaq dalam al Maghazi dengan sanad yang shahih menyebutkan bahwa Amru bin Tsabit tidak mau masuk Islam. Ketika terjadi perang Uhud, ia ikut perang sampai terluka parah (padahal masih musyrik). Para shahabatnya (kaum anshar, sudah mukmin) bertanya kepadanya,”Apa yang membuatmu ikut berperang, apakah karena sayang dengan kaummu atau karena ingin masuk Islam?” Maka ia menjawab,” Karena ingin masuk Islam.” Maka Rasulullah bersabda,” Ia termasuk penduduk surga.” Imam Abu Daud dan al Hakim menyatakan ia tidak mau masuk Islam karena menolak pelarangan riba. Ia meninggal dalam perang Uhud dan masuk surga, padahal belum pernah melakukan sekalipun dari kewajiban shalat lima waktu.[83]
Inilah sirah nabawiyah dan khulafaur rasyidin tentang menuntut ilmu bagi orang yang akan berjihad. Bila menuntut ilmu sudah jelas, maka maksud dari mengamalkannya pun sudah terang. Dari sini, jelas sekali bahwa perang melawan orang kafir adalah jihad terbesar dan paling utama. Adapun jihad melawan hawa nafsu maka bisa dikerjakan sebelum, saat sedang dan sesudah berjihad melawan orang kafir. Jadi, orang yang berjihad melawan orang kafir berarti telah berjihad lahir batin menghadapi musuh orang kafir dan musuh setan dan hawa nafsu. Sementara orang-orang yang hanya duduk-duduk belajar ilmu syar’I yang banyak namun tidak kunjung berjihad dengan alas an jihad melawan setan dan hawa nafsu, tarbiyah dan tashfiyah, mereka itu sebenarnya tidak memahami ilmu apa yang seharusnya dituntut dan bagaimana mereka mengamalkannya. Dengan kata lain, mereka dipermainkan oleh setan dan hawa nafsunya. Wallahu A’lam.
Imam Ibnu Qayim menyebutkan 7 tingkatan jebakan setan yaitu:1) kekafiran. 2) Bid’ah. 3) Dosa besar. 4) Dosa kecil. 5) Menyibukkan dengan hal-hal mubah. 6). Menyibukkan dengan amalan yang kurang utama atass amalan yang lebih utama. 7). Berbagai tekanan, intimidasi fisik dan perang dengan mengerahkan tentara setan, yaitu orang-orang kafir.[84]
Setan mengenal betul skala prioritas (fiqih maratibu al a’mal). Ia memulai menjebak manusia dengan kekafiran, bila gagal dengan bid’ah, bila gagal dengan dosa besar, dst. Seorang muslim yang cerdik akan bisa menyatakan yang pertama kali harus diberantas adalah kekafiran dan kemusyrikan, baru kemudian bid’ah, setelah itu dosa besar, lalu dosa kecil, dst. Hari ini, tak kurang dari 5 milyar umat manusia masih kufur dan musyrik. Bukan itu saja, mereka juga meraja lela di dunia ini dengan mengatur dunia sesuka hati mereka, dengan aturan setan dan menindas serta membantai Islam dan kaum muslimin. Bila seseorang gagal dijebak oleh setan dengan enam jebakan pertama maka ia kan dihadapi setan dengan cara kekerasan, yaitu perang fisik antara wali Allah dan wali setan. Dengan demikian, perang melawan orang-orang kafir merupakan tingkatan yang paling utama dan paling tinggi. Tingkatan tertinggi ini oleh imam Ibnu Qayyim disebut sebagai ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh khawashul ‘arifin. Ubudiyah ini disebut sebagai Ubudiyah Muraghamah, ibadah yang membuat musuh-musuh Allah marah dan takut. Beliau menyebutkan beberapa dalil hal ini, antara lain:
وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللهِ يَجِدْ فِي اْلأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غُفُورَا رَّحِيمًا {100}
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. An Nisa’:100], dan surat
مَاكَانَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُم مِّنَ اْلأَعْرَابِ أَن يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللهِ وَلاَيَرْغَبُوا بِأَنفُسِهِمْ عَن نًّفْسِهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لاَيُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلاَنَصَبٌ وَلاَمَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَيَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلاَيَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلاً إِلاَّ كُتِبَ لَهُم بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللهَ لاَيُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ {120} وَلاَيُنفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلاَكَبِيرَةً وَلاَيَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلاَّ كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللهُ أَحْسَنَ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ {121}
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, (121) dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.[At Taubah : 120-121].
مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي اْلإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْئَهُ فَئَازَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فاَسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمَا {29}
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min).Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.[Al Fath: 29].[85]
Memerangi orang-orang kafir adalah salah satu ajaran dinul haq, harus diamalkan dan didakwahkan. Benarkah membersihkan batin dan hati dari maksiat itu lebih utama dari membersihkan bumi dari kesyirikan dan kekafiran ? Membersihkan batin memang penting sekali, sebagai wasilah untuk memebersihkan bumi dari syirik dan orang penganut-penganutnya. Tapi tidak boleh berhenti sampai di tingkatan wasilah saja, kapan ghayahnya dicari?
Sholat itu ghayah, wudhu wasilahnya. Kalau ada orang berwudlu, setiap kali selesai berwudlu, dia ulang lagi dari awal hingga waktu sholat habis dan lewat sedang ia belum sholat, maka ia bermaksiat kepada Allah. Demikian juga dengan jihad melawan orang kafir. Ia berawal dari melawan hawa nafsu dan setan. Namun bukan berarti kalau belum mampu mengalahkan setan dan hawa nafsunya ia tidak boleh berperang. Justrru bila berpikiran demikian, ia telah terjebak dalam jebakan setan karena melawan hawa nafsu dan setan itu sepanjang umur kita. Akhirnya kita tak akan pernah melawan orang kafir dengan alasan iman kita belum benar, aqidah kita belum sekokoh shahabat dst.
Menyibukkan diri dengan jihad melawan hawa nafsu (dengan pemahaman yang salah tadi : tidak memerangi orang kafir sampai mumpuni dalam berbagai ilmu syar’i, sampai imannya betul-betul kokoh), dan menjadikannya alasan tidak berjihad bahkan mengatakan jihad nafs itu jihad akbar, tapi belum pernah terdetik dalam hatinya untuk berperang, merupakan suatu sikap yang sangat berbahaya sekali. Apalagi jika mati dalam keadaan demikian :
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُووَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ عَلىَ شُعْبِةٍ مِنِ النِّفَاَِق
“Barang siapa mati sementara ia belum pernah berperang dan belum pernah terdetik dalam hatinya untuk berperang, maka kalau mati ia mati pada salah satu cabang kemunafikan.”[86]
Dari sini kita akan memahami orang yang berjihad justru merupakan orang yang telah mengalahkan hawa nafsu dan setan, orang yang tidak berjihad tanpa udzur syar’i berarti kalah dengan nafsu dan setan. Inilah makna perkataan Ibnu Qayyim di atas,” siapa belum berjihad melawan hawa nafsunya dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya serta memerangi hawa nafsu karena Allah dia tidak akan mampu untuk berjihad melawan musuh-musuh Allah yang dhohir. Bagaimana mungkin dia mampu berjihad melawan musuh Allah, sedang musuh yang mengusai dirinya saja belum ia perangi? Ia tidak akan mungkin mampu keluar pergi berjihad melawan musuh Allah sampai ia berjihad menundukkan hawa nafsunya sehingga mau keluar melawan musuh-musuh Allah.” [87]
Dengan jelas sekali, imam Ibnu Taimiyah berkata,” Jihad merupakan puncaknya amal, karena didalamnya mencakup puncak dari segala keadaan yang baik, didalamnya puncak dari kecintaan, sebagaimana firman Allah Ta`ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ {54}
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.[ Q S Al Maidah : 54]. Dan didalamnya puncak dari kesabaran dan tawakkal, dikarenakan mujahid merupakan orang yang paling bersabar dab tawakkal kepada Allah, sebagaimana firman Allah:
الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {59}
“(yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Rabbnya.[ Q S Al Ankabut : 59 ].
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ اْلأَرْضَ للهِ يُورِثُهَا مَن يَّشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ {128}
溺usa berkata kepada kaumnya:”Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”.[ Q S Al A`raf : 128 ]. Oleh karena itu sabar dan yakin merupakan sumbernya tawakkal.untuk itu jihad mengharuskan bagi pelakunya untuk mendapatkan hidayah, sebagaimana firman Allah Ta`ala :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ {69}
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.[ Q S Al Ankabut : 69]. Oleh karena itu Imam Abdullah bin Mubarak dan Ahmad bin Hambal dan yang lainnya berkata : “Jika manusia berselisih didalam sesuatu maka lihatlah (kembalikan) kepada ahli syugur, karena kebenaran ada pada mereka; karena Allah telah berfirman :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ {69}
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.[ Q S Al Ankabut : 69]. Dan didalam jihad pula hakekat zuhud terhadap dunia yang sebenarnya, dan didalamnya hakekat keikhlasan yang sebenarnya, maka orang yang disebut berjihad dijalan Allah, bukanlah yang berperang untuk mendapatkan kekuasaan, harta maupun yang lainnya akan tetapi yang disebut fi sabilillah adalah yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah dan menjadikan dien hanya milik Allah semata.
Tingkatan ikhlas yang paling tinggi dan agung adalah menyerahkan jiwa dan harta untuk yang di ibadahi, sebagaimana firman Allah Ta`ala :
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh・ Q S At Taubah : 111].[88]
Dari penjelasan Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah diatas, telah jelas bahwa jihad merupakan bentuk tazkiyatun nafs yang paling tinggi dan paling puncak, bentuk jihadun nafsi dan jihadus syaitan. Yang paling sempurna dan utama.
Allah berfirman:
لا يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا. درجات منه و مغفرةو رحمة.
“Tidaklah sama antara orang mukmin yang tak mempunyai udzur yang duduk saja (tidak berjihad) dengan mujahidin fi sabililah dengan harta dan nyawa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan nyawa mereka atas orang-orang yang duduk saja (tidak berjihad) dengan satu derajat. Kepada masing-masing Allah menjanjikan kebaikan. Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan nyawa mereka dengan pahal yang besar. yaitu beberapa derajat, ampunan dan rahmat Allah.”) Al Nisa’: 95-96(
Dalam hadits disebutkan :
إِنَّ فِي اْلجَنَّةِ مِائَةُ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللهُ لِلْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ مَا بَيْنِ دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ
” Sesungguhnya di janah ada seratus tingkatan yang disiapkan untuk para mujahidin di jalan Alloh. Jarak antara dua tingkatan sebagaimana jarak antara langit dan bumi.”(Al-Bukhori No. 2790, Tirmidzi no. 2529, Ahmad 2/235). Dalam riwayat Imam A Tirmidzi,” Antara dua derajat selama seratus tahun.” Dalam riwayat Imam Al Thabrani,” lima ratus tahun.”.[89]
Ini baru makna derajat, belum rahmah, maghfirah dan ajrun adzim yang dijanjikan Allah, yang semuanya tertera dalam buku-buku hadits. Dengan demikian, keutamaan yang berperang di jalan Allah jauh di atas orang yang hanya jihadun nafs (tasfiyah, tarbiyah dst) saja tanpa jihad.
Kondisi umat Islam saat ini sama persis dengan kondisi zaman Rasulullah hidup. Umat Islam dibantai di mana-mana, medan jihad terbuka luas. Orang Islam yang mampu mestinya berjihad ke medan perang, bukannya kita haruskan untuk belajar dulu bertahun-tahun sampai aqidah dan ibadahnya lurus. Cara ini sama sekali bertentangan dengan sunah nabawiyah. Justru dengan adanya perang (jihad), masyarakat di tempat jihad yang sebelumnya masih tenggelam dengan kemaksiatan, sama sekali jauh dari aqidah tauhid bisa dibenahi dengan hadirnya sebagian kecil umat Islam yang sudah mengenal tauhid dan ibadah yang benar serta memahami Islam secara baik. Dari sini kita harus membedakan antara teori dengan praktek, antara dirasah aqidah dengan aqidah itu sendiri. Belajar aqidah maknanya mempelajari kitab-kitab aqidah mu’tabarah karangan para ulama salaf, adapun aqidah maka itu terbukti di medan jihad di mana tawakal, khauf, raja’, shabar terbukti. Di medan nyata inilah terlihat siapa yang gugur siapa yang tangguh. Betapa banyak para ulama dan kyiai kita yang pertama kali mengungsi bersama keluarganya dan tak pernah kembali, meninggalkan masyarakat yang awam tak mengenal aqidah dan ibadah yang benar berjuang melawan orang-orang kafir sendirian. Kalau begitu, mana jihadu nafs yang selama ini diteriakkan?.
Justru, orang yang berperanglah yang sesungguhnya berjuang melawan hawa nafsu dan syaithan. Buktinya, ia berjuang agar bisa shabar, tawakal, zuhud, cinta akhirat, tak takut mati, taat kepada pimpinan dalam kebaikan, selalu menjaga darah, harta dan agama kaum muslimin dst. Sedang yang thalabul ilmi dan tasfiyah (amalan-amalan sunah), ia tak akan mengerti betul apa itu sabar, tawakal dst, karena tantangan yang dihadapinya relatif kecil bila dibandingkan mereka yang berjihad melawan musuh dan menantang maut. Ini, sekali lagi bukan mengecilkan arti jihad melawan nafsu dan setan, bukan, namun untuk mendudukkan masalah ini secara proporsional.
4. Sebagaimana disebutkan DR. Idris Muhammad Ismail dan DR. Muhammad Khalid Isthanbuli, pembagian jihad menjadi jihad asghar (melawan orang kafir) dan akbar (melawan hawa nafsu dan setan) ini merupakan musibah terbesar yang ditimpakan musuh-musuh Islam atas jihad fi sabilillah. Mereka mengetahui dengan adanya jihad (perang melawan orang kafir), Islam akan senantiasa jaya dan mengalahkan orang kafir. Karena itu mereka menjebak umat Islam dengan cara halus dan damai, melalui cara ini. Mereka pintar, mengetahui bahwa selama manusia masih hidup ia tak akan pernah lepas dari serangan hawa nafsu dan setan. Dengan semikian umat Islam akan sibuk bertasfiyah, melakukan berbagai amalan sunah, thalabul ilmi dan riyadhah agar lepas dari hawa nafsu dan setan. Akhirnya waktunya habis dan musuh-musuh Islam bisa melenggang ringan menyebarkan kekafiran di seluruh penjuru dunia. [90]
Dari sini jelaslah kemurnian pemaham salafu al sholih, di mana saat menyebutkan kitab jihad mereka hanya menyebutkan perang, hukum-hukum perang, anjuran mencari syahid dst. Mereka tidak melalaikan jihad melawan hawa nafsu, namun mereka meletakkannya dalam kitab tersendiri yang mereka namai kitab al Zuhdu dan al Raqaiq. Mereka tidak mencantuman tarbiyah wa tashfiyah ini dalam bab jihad. Inilah fiqih salafu al sholih yang mesti kita ikuti.[91]
Wallahu A’lam bish Shawab.
——————————————————————————–
[1] Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/48, menyimpulkan dari Lisanu al Arab 4/107, Taaju al Arus 2/329,al Mu’jamu al Wasith /142, Al Shihah 1/457, Mu’jamu Maqayisi al Lughah 1/486 dll
[2]Ibid
[3] lihat Min Wasaili Daf’i al Ghurbah, Syaikh Salman Audah hal. 13-14
[4] Fi al Jihadi Adabun wa Ahkamun hal. 5
[5] Taujihat Nubuwah, Dr. Sayyid Muhammad Nuh 2/312-213
[6]HR.Ahmad 4/114 dengan sanad shohih no:17152hal:1225,, mempunyai syawahid dalam Silsilah Ahadits al Shahihah no. 551 jilid 2/92.
[7]. HR. Ahmad 3/483 no:16054hal:1127, Shahih al Jami’ al Shaghir 1/338 no. 1652/736.
[8] HR. Al-Bukhori No. 2785 Kitabul jihad was Sair, Darus Ssalamcet.ke-1 th.1998M/1417H, Nasa’I 6/19 Maktabah Ilmiyah, Ahmad 2/344., Ibnu Abi Syaibah 5/199).
[9] Al-Bukhori no. 2786, Kitab jihad Wassair, hal: 566” Darussalam “ Riyadh cet ke-1th: 1997M/1417H.
[10] Ibid no : 2790,hal: 566
[11] Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/49, Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam, Dr. Abdulloh Azzam hal. 5
[12] Ibid
[13] Lihat Al Lajnah al Syar’iyah hal. 46
[14] Lihat Min Wasaa’ili Daf’il Ghurbah, Syaikh Salman Fahd Audah hal 21, Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam, Dr. Abdulloh Azzam hal.6
[15] Lihat Fil Jihadi Adaabun wa Ahkamun Dr. Abdulloh Azzam hal. 5-6
[16] Lihat Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/49, Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam, Dr. Abdulloh Azzam hal. 6
[17] LihatFil Jihad Adabun wa Ahkam hal. 5-6
[18] Lihat Min wasa’ili Daf’il Ghurbah, Syaikh Salman Audah hal. 14
[19] Fi al Jihad Adabun wa Ahkamun hal. 6
[20] Ilhaq bi al Qafilah, Dr. Abdulloh Azzam hal. 46
[21] Al Jihadu Sabiluna, Abdul Baqi Romdlon hal. 13
[22] Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/49
[23] Waqfatun Ma’a Al Duktur al Buthi fi Kitabihi ‘an al Jihad. Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi hal. 11
[24] Ahammiyatu al Jihad fi Nasyri al Da’wah al Islamiyah hal. 116
[25] Min Wasaili Daf’i al Gurbah hal. 21
[26] Terjemahan tenerbitan At Tibyan, Solo
[27] HR Nasa’i 7/161
[28] Muslim no. 5
[29] Waqfat ma’a Ad-Duktur Al-Buthi fii Kitaabihi ‘anil Jihad ha.12
[30] Tahdzibu Syarh Al-‘aqidah ath Thahawiyah, Abdul akhir Hammad Al-Ghoinami hal.360
[31] Zaadul Maad , Ibnul Qoyyim III/64, Penerbit “Massasah Arrisalah” cet.ke-3 th 1998M/1419H
[32]Sunan Abi Dawud : 2502
[33] Membina Angkatan Mujahid, Said Hawa, hal.168-169
[34] . Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qordlowi 2/657 Cet: 8 1405 H/ 1985 M, Muassasah Ar Risalah.
[35] . Ibid, 2/658
[36] Ibid.2/666-667
[37] Ibid 2/668
[38] Taisiru al Wushul ila al Ushul, hal. 296
[39] Al Lajnatu al Syar’iyatu hal. 47, Ulyani hal. 116-117, Al Ghunaimi hal 11, Azzam dll
[40] Fathu al Bari 6/5
[41] Lihat Min Wasa’I Daf’il Ghurbah, hal. 21, Fil Jihadi Adaab Wa Ahkaam, hal 6
[42] Waqfatun Ma’a Al Duktur al Buthi fi Kitabihi ‘an al Jihad. Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi hal. 16
[43] Fathu al Bari 6/22
[44] Fathul Bari 6/59
[45] Fathul Bari 2/9
[46] Lihat Fil Jihadi Fiqhun Wa Ijtihadun, Dr. Abdullah Azzam III/108
[47] Masyari’ul Asywaaq 1/141
[48] Majmu’ Fatawa 35/37
[49] Tahdzibu ath Thahawiyah hal. hal.360
[50] Zaadul Maad , Ibnul Qoyyim III/64 Cet : 3. 1419 H/ 1998 M. Muassasah Ar Risalah.
[51] Membina Angkatan Mujahid, Said Hawa, hal.168-169
[52] HR. Tirmidzi no. 2616, Al Hakim 2/76
[53] HR. Muslim no. 49, Abu Daud no. 1140 dan 4340, Tirmidzi 2172, Ibnu Majah no. 1275, Ahmad 3/54, Nasa’I 8/111
[54] Lihat penjelasan hadits ini dalam Jami’u al Ulum wa al Hikam hal
[55] HR. Bukhori no. 2786
[56] Fathu Al Bari : 6/5, Syarh hadits 2785
[57] HR. Bukhori no. 2785
[58] Fathu Al Bari : 6/5, Kitab jihad dan sair, bab keutamaan jihad dan sair
[59] HR. Bukhari no. 2817
[60] Fathu Al Bari : 6/5, bab angan-angan seorang mujahid untuk kembali kedunia.
[62] Musnad Imam Ahmad : 6/20 no. 24451, Silsilah Ahadits Shahihah no. 549, Shahih Jami` Shagir no. 6679.
[63] Zaadul Ma’ad : 3/5-6, tentang petunjuk Nabi saw dalam jihad, maghazi, saroya, dan bu’uts.
[64] Silsilatu al Ahaditsu al Dhaifah wa al Maudhu’ah 5/478-480 no. 2460, Dha’ifu al Jami’ al Shaghiru hal. 595 no. 4080
[65] Majmu’ Fatawa 11/197
[66] Siyaru A’lami an Nubala’ : 6/325, bab Ibrahim bin Abi Ablah.
[67] Siyaru A’lam 6/324
[68] Fathul Bari : 6/30, bab amal shaleh sebelum berperang.
[69] Majmu’ Fatawa : 11/196-197.
[70] Zadul Ma’ad : 3/9, tentang marotib jihad an-nafs
[71] . Al Umdah fi I’dadil Uddah hal. 351, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz.
[72] . Al Umdah fi I’dadil Uddah hal. 351.
[73]. Syarhu Thahawiyah hal. 377-378, Al Maktabul Islamy, 1403 H.
[74] . Ar Risalah hal. 357-360, tahqiq : Ahmad Syakir.
[75]. Jamiu Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 9-12.
[76] . Majmu’ Fatawa 28/80.
[77]. Syarhu Sunah 1/289-290, tahqiq Syu’aib Al Arnauth.
[78] . Fathul Baari 13/320.
[79] . Al Majmu’ Syarhul Muhadzab I/45, Daarul Fikr dengan tahqiq ; Dr. Mahmud Muthraji.
[80] . Mukhtashor Minhajil Qasidin hal. 14, Ddaarul Fikr.
[81] . HR. Tirmidzi no. 1871, Shahih.
[82]. HR. Bukhari Kitabu Jihad sebuah bab,” Amalun Sholihun qabla al Qital” {amal sholih sebelum perang}. no. 2808
[83]. Fathu al Bari 6/31, bab amal shaleh sebelum berperang
[84]. Madariji Al - Salikin 1/245-248, tentang tingkatan jebakan setan
[85] Madariji Al - Salikin 1/249
[86] HR. Muslim
[87] Zaadul Ma’ad : 3/5-6, memerangi musuh-busuh Allah termasuk dari jihad hawa nafsu.
[88] Majmu` Fatawa 28/441-443.
[89] Fathu al Bari : 6/15,
[90] Lihat Tahqiq atas Masyari’u al Aswaq ila Mashori’i al Usyaq 1/29-31
[91] Masyari’u al Aswaq 1/34