بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Ketika seseorang meninggal, orang-orang membacakan Al-Qur'an dengan pengeras suara di rumah duka, dan ketika mayat itu dibawa oleh mobil jenazah, mereka memasangkan pengeras suara, dengan demikian orang yang mendengar bacaan Al-Qur'an itu mengetahui bahwa di sana ada kematian, akibatnya seolah merasa sial karena mendengar bacaan Al-Qur'an, dan akibat lain-nya, Al-Qur'an itu tidak dibuka kecuali ketika ada seseorang yang meninggal. Apa hukum perbuatan ini, dan bagaimana menyampaikan nasehat kepada orang-orang yang semacam itu?
Jawaban
Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan ini bid'ah, karena tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pula pada masa para sahabat beliau. Sesungguhnya Al-Qur'an itu bisa menawar kedukaan jika dibaca seperti biasa, tidak dengan menggunakan pengeras suara.
Lain dari itu, berkumpulnya keluarga si mayat untuk menyambut orang-orang yang mengucapkan bela sungkawa, tidak pernah dikenal. Bahkan sebagian ulama menyatakannya sebagai perbuatan bid'ah. Karena itu kami tidak menganjurkan keluarga si mayat berkumpul untuk menerima ucapan bela sungkawa, tapi hendaknya menutup pintu mereka. Tapi jika ada seseorang yang berjumpa di pasar, umpamanya, atau kebetulan ada seorang kenalan yang datang berkunjung lalu mengucapkan bela sungkawa, maka hal ini tidak apa-apa.
Adapun sengaja menyambut orang-orang, hal ini tidak pernah dikenal pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan para sahabat menganggap bahwa berkumpulnya keluarga si mayat dan membuat makanan termasuk meratapi kematian, padahal meratapi kematian itu termasuk perbuatan berdosa besar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang orang yang meratapi mayat dan memperdengarkan ratapannya, beliau bersabda.
"Wanita yang meratapi kematian, jika ia tidak bertaubat sebelum kematiannya, maka pada Hari Kiamat nanti ia akan diberdirikan sementara di atasnya besi panas dan baju koreng."[1]
Kita memohon kepada Allah akan dijauhkan dari hal ini.
Nasehat saya untuk saudara-saudara saya, hendaknya meninggalkan perkara-perkara baru ini, karena meninggalkannya lebih utama di sisi Allah dan lebih utama bagi si mayat itu sendiri, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan, bahwa mayat itu disiksa karena tangisan dan ratapan keluarganya terhadap kematiannya. Maksudnya disiksa ini adalah menderita kesakitan akibat tangisan dan ratapan tersebut, tapi tidak disiksa seperti siksaan bagi pelakunya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
" Dan orang-orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." [Fathir : 18]
Siksaan yang dimaksud dalam hadits tadi bukan balasan, dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan,
"Perjalanan (safar) adalah bagian dari adzab."[2]
Yakni bahwa penderitaan, kedukaan dan sejenisnya dikatagorikan adzab. Contoh kalimat yang biasa dilontarkan, 'Aku di adzab oleh perasaanku sendiri.'
Kesimpulannya, saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku, untuk menjauhi kebiasaan-kebiasaan tersebut yang hanya menambah jauhnya diri dari Allah dan menambah penderitaan bagi yang meninggal.
[Fatawa Al-Fauzan, Nur ‘Ala Ad-Darb, juz 2, disusun oleh Fayiz Musa Abu Syaikhah]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
_________
Footnotes
[1]. Bagian dari hadits yang dlkeluarkan oleh Imam Muslim dalam Al-Masajid (nomor 934).
[2]. Bagian dari hadits yang keluarkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Al-'Umrah (nomor 1804). Muslim dalam Al-Imarah (nomor 1927).
0 komentar:
Posting Komentar